Monday 24 June 2013

tiga budaya yang (tidak) asing

Siang itu aku duduk tenang membaca Review, sebuah majalah ekonomi dan bisnis dengan ilustrasi wajah Jokowi dan headline MENGGUGAT PRJ besar-besar di halaman sampul. Sekitar tiga menit sebelum aku menyadari sepasang mata menatapku lekat. Milik seorang bapak keturunan Chinese, berdasi dan berjas. Lebih geregetan saat mendapati alis mata itu terang-terangan terangkat, lalu menarik sudut bibirnya membentuk seringai. Melecehkan.

Kunaikkan mataku dari laporan wawancara dengan Siti Hartati, pemilik 81,875% JIExpo, kutentang mata si bapak. Sedetik, dua detik, tiga detik.
"Emang kamu ngerti, itu isinya apa?" tanyanya tanpa tendeng aling-aling.

 Whoa.

Aku nggak tau apakah si bapak pernah/ sering membaca majalah ini atau tidak tapi sekedar informasi saja, gaya bahasa yang digunakan oleh Review adalah people friendly. Mereka mau repot-repot menjabarkan runtutan cerita, meskipun singkat, dengan kronologis yang jelas -membedakan dengan majalah sejenis yang menganggap si pembaca sudah update dengan kasus-kasus itu sehingga hanya memberi perkembangan terbaru. Mereka juga mau berbaik hati memberikan definisi untuk istilah istilah yang mungkin tidak akrab dengan pembaca.
Jadi, mungkin wajar kalau si bapak hanya menganggapku anak kecil yang bosan dan kehabisan bahan bacaan. Lalu sok-sokan baca majalah yang 'ndak pantes dibaca anak kemaren sore' seperti saya. Kutipan langsung dari si bapak. Kaget juga saya zaman sekarang masih ada orang-orang berpikiran sesempit itu.

Ah tapi tidak mengapa, toh sebentar saja aku dan si bapak sudah mengobrol akrab. Tentu diawali dengan sebuah debat panas tentang keputusan pemerintah mengenai subsidi bbm, yang menyambung ke diskusi hangat kinerja Jokowi-Ahok dan saling prediksi tentang pemilu nanti.
Ketika pembicaraan kami yang sudah sampai ke teori likuiditas terpaksa terputus karena pesawat si bapak memanggil-manggil, aku akhirnya sudah cukup pantas menerima seulas senyum ramah plus bonus kartu nama. Tercetak dengan bangga: Operational Manager sebuah PT ternama.

Tapi aku tidak terkesan, ada drama lain yang lebih menarik perhatian. Seorang ibu berkerudung pendek, tanpa mengalihkan matanya dari layar hp menyeru (marah? sinis? biasa saja?) saat anaknya, yang lucu berkuncir dua merangkak dibawah meja dan menjedukkan kepalanya, "Nah kaaaann? Baguus, ayo lagi, jedukin lagi! Sakit? Kok nggak nangis? Ayo lagi doong, jeduk. Mana jeduknya? Anak kok ya nggak bisa anteng (diam) tho yooo.. nangiso! Nangis kalo sakit!" membuat seluruh penghuni lounge melirik sekilas.
Si anak hanya menunduk merapatkan bibir, pasti menahan habis-habisan air matanya. Aku trenyuh, pasti sulit mengempet tangis seperti itu..

Seekor lalat merayap menyedihkan didekat piringku. Ada lendir terseret bersamanya. Sayapnya cacat. Datar aku menekankan majalah review yang kubaca tadi, menggencet tubuhnya. Mati. Aku mendengus menyentil diriku sendiri, sombong sekali Noni, seperti Firaun saja sok sok menentukan jalan hidup seekor lalat. Ah, tapi nanti dia mengkontaminasi makananku. Ah, lihatlah lendir menjijikkan itu. Ah, lagipula hanya seekor lalat ini, tidak mengganggu ekosistem. Ah..

Seseorang yang begitu menganggap dirinya sendiri serba lebih jadi menganggap orang lain jelas-jelas di bawahnya, dan merasa sah berpendapat demikian. Bahkan menunjukkan terang-terangan.
Seseorang yang entah bagaimana kehilangan berkas berkas kasih. Bahkan kepada anak umur empat tahun. Bahkan pada anaknya sendiri.
Seseorang yang begitu sombongnya menganggap dirinya berhak mengambil nyawa makhluk hidup lain.

Budaya merendahkan, budaya minim kasih sayang, dan budaya keangkuhan. Sejak kapan menelusup di bangsa ini, yang dulunya dikenal rendah hati, penuh cinta dan hobi mengayomi serta santun luar biasa?

Ini hanya sepotong cerita yang terjadi di pojokan lounge (yang katanya) mewah (tapi ada lalat cacat berlendirnya), di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, Indonesia.

3 comments:

Claude C Kenni said...

Sebuah kisah singkat yg inspiratif, sungguh2 mencerminkan keadaan masyarakat kita saat ini...>_<

Noni Setianingsih said...

entah lah, indonesia yg katanya dulu ramah, sekarang hilang ditelan angin barat.. nice post, cantik..

Ahdini said...

selalu suka kata-kata yang ditulis dengan gaya ka noni :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...