A [Part 1]

Sabtu, 24 November 2001
            Sebuah taman komplek perumahan kecil, Bogor, Jawa Barat. Semua sudah siap di posisinya masing-masing. Ada yang siap dengan ransel dan perlengkapan sekolah, ada yang sibuk mengatur peralatan salon-salonannya, macem-macem lah. Permainan harusnya sudah bisa dimulai sepuluh menit yang lalu, kalo aja nggak ada acara ngambek-ngambekan begini.
            "Pokoknya aku nggak mau jadi suaminya kalo yang jadi istri kamu!" Anak laki-laki berpipi tembem dan berambut ikal kecoklatan melipat tangannya di dada. Mukanya cemberut. Si cewek, dengan raut muka lebih dewasa, menghela nafas lelah.
            "Tadi kan udah dibilangin, pada nggakmau jadi mama. Maunya jadi anak semua, ato tukang salon, tukang gado-gado, artis, dokter. Ya udah aku yang jadi mama, lagian emang biasanya aku yang jadi mama kok. Suamiku lho biasanya Ferdi, cuma kan sekarang dia lagi sakit. Salah sendiri datengnya telat, pilihannya tinggal jadi suami kalo nggak ya tukang pos. Lah kamu bilang jadi tukang pos nggak enak, cuma anter-anter amplop pake sepeda, nggak ngapa-ngapain. Gimana sih?"
            "Emang kenapa sih sama Aia? Aia lho kalo jadi mama baek, sabay. Malah Aia jago masak beneyan, bisa bikin mi, jeli, siyup. Kamu aja dateng dateng ngeyusak main kita!" Sara, anak 4 tahun yang sayang banget sama si cewek mulai ngomel. Nggak lama anak-anak lain mulai mendengungkan protes yang sama, si cowok mukanya tambah kelipet.
             "Kenapa sih istriku nggak Elin aja, ato Avi, ato Putri. Anakku lho Manda! Dia kan putih, jadi ya harusnya papa-mamanya putih juga dong! Aku nggak mau istriku Aia! Dia jelek, item!"
Aia tertegun mendengar kata-kata cowok itu. Sifat alami anak kecilnya mulai bangkit, air mata menggenang di pipinya.
            "Eh kamu nggak boleh gitu, Ka! Jahat kamu!" "Liat kan Aia jadi sedih! Aka sih ngomongnya jahat banget!" "Kita nggak mau temenan sama kamu lagi sampe kamu minta maaf sama Aia!" Cowok itu, Aka, jadi tambah kesal. Ia menggembungkan pipi merahnya, cemberut lebih dalam, "Enggak!" Rion maju dan mendorongnya, "Minta maaf nggak! Bilang sama Aia kalo kamu cuma boong! Aia itu cantik tau!" "Enak aja! Emang dia item kok!" Rion yang diam-diam menyukai Aia langsung menamparnya, lalu menjambak rambut Aka. Kakinya juga menginjak-injak kaki Aka. Aka yang tidak terima atas perlakuan Rion -apalagi sepatunya baru!- langsung membalas dengan mencakar, menarik kaos, bahkan meninju Rion.
            Sejenak suasana taman riuh dengan pertengkaran itu. Aia sudah berlari menjauh sambil menangis ketika para baby sitter mereka berdatangan sambil berusaha melerai. Aka sempat melihat kuncir rambut Aia yang panjang bergoyang di kejauhan. Saat itulah ia sadar betapa ia sangat bersalah.
            Minggu, 25 November 2001.
            Rumah Aka. Pesta ulang tahun Aka tampak sepi. Hanya sepupu, beberapa teman sekolah dan guru yang datang. Nyaris semua teman di komplek perumahannya -yang juga teman sekolahnya- tidak datang. Memang, sejak kejadian kemarin, rata-rata pada masih marah sama Aka. Orang tuanya bukannya tidak berusaha, mereka sudah menelpon orang tua teman-teman Aka, tapi rata-rata mereka cuma datang sebentar, memberikan kado tanpa ekspresi, tanpa makan atau minum langsung pamit pulang.
            Aka duduk di sudut ruangan dengan sedih, matanya menatap ke kue besar dengan dekorasi Digimon kesukaannya, lilinnya ditiup asal-asalan dan hanya diiris sedikit. Lalu pandangannya beralih ke arah meja besar berisi cupcake, es krim, permen warna-warni, coklat, keripik kentang dan makanan lezat lain. Beralih lagi ke segelintir kado, yang mungkin hanya setengah, atau bahkan seperempat dari kado-kadonya tahun lalu. Akhirnya edaran pandangannya berakhir ke pintu gerbang putih besar rumahnya bertuliskan H-A-P-P-Y B-I-R-T-H-D-A-Y A-N-D-R-A-K-A dengan karton tebal kelap-kelip.
            Sejenak tertegun Aka mulai mewek, matanya berair. Hanya sekejap ketika akhirnya ia mendengar suara dok-dok dok. Pintu itu diketuk.
            Penuh semangat Aka melompat dan membuka gerbang lalu mendapati sesosok gadis kecil bergaun kuning. Ia melongo. "Aia?" "Halo Akaaa, met ultah yaa!" Ia menyodorkan kotak berbungkus kertas kado warna biru motif polkadot.
            Aka masih melongo. Awalnya ia marah, karena menganggap Aia-lah penyebab sebagian besar temannya tidak datang di acara ulang tahunnya. Bercampur senang karena akhirnya ada yang datang. Dan perasaan itu akhirnya berubah malu karena Aia ternyata begitu baik masih mau datang ke ultahnya sesudah sebegitu jahat kata-kata yang dilontarkan Aka ke Aia. "Eh, Amara. Ayo masuk, sayang." Bunda Aka tersenyum sambil menyilakan Aia masuk. Ketika masuk, Aia langsung berlari ke meja kue dan mencomot setangkai pisang lumur coklat, favoritnya.
            Aka melangkah pelan menuju Aia, masih agak tidak percaya. "Kok sepi sih, Ka? Taun lalu kan rame, sampe malem gitu." "Anak-anak masih marah sama aku. Gara-gara kemaren itu." "Ih, dasar anak kecil. Masih zaman gitu ngambek-ngambekan?" "Hahaha sok banget, kamu kan juga masih kecil." "Oh iya, ya? Hehehe." Sedetik kemudian mereka sudah tertawa-tawa lagi.
            Amara tersentak bangun.
            "Astaga, ngapain sih mimpi aneh begitu." Desisnya sambil, anehnya, tersenyum kecil. Disibaknya rambutnya ringan sambil matanya melirik jam dinding, "Bloody hell, jam 2 pagi?! Oh man.. Dijamin besok pagi bangun gue telat nih, aaargh!!"
            Baru saja ia mau menghempaskan lagi kepalanya di bantal, disadarinya hpnya berkedip-kedip. Dengan malas diraihnya benda persegi pipih itu dan dibukanya teks pertama yang masuk dengan setengah sadar.
            Baru kalimat pertama selesai dibaca, matanya melebar. Amara terjaga sepenuhnya.
to be continued..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...