The Heartbreakers [Part 5 and 6]


five
see how much fate loves playing wth irony?

Keana menusuk-nusuk apple pienya dengan garpu, emosi. Bima mengajaknya ketemuan di kafe kecil yang bernuansa rumahan itu tepat pukul tiga sore, tetapi kini sudah hampir  jam lima dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Bima. Dia sendiri mengutuki kebodohannya, karena masih saja menyimpan harapan untuk Bima.
          Ia sudah menghabiskan blueberry cheesecake, mint and chocolate opera cake, dan sekarang apple pie. Juga sebotol air mineral. Awalnya ia sama sekali tidak keberatan. Kue-kue itu enak bangeeeet, rasanya bener-bener kayak buatan rumah. Tampilannya sederhana, tapi lucu. Kalau habis gini berat badan gue naik dua kilo juga sebodo, begitu pikirnya awalnya.
Tetapi lama-lama ia tak tahan juga, makan sendirian waktu lagi bad mood mungkin emang enak dan merupakan ’good mood maker’. Tapi makan sendirian sambil menunggu orang dalam waktu 2 jam jelas menyebalkan.
Bima emang bener-bener keterlaluan! Tepat saat ia akan memesan milkshake untuk gelas yang kedua, Bima datang dengan senyumnya. Keana mendengus, udah kebal dengan pesonanya.
”Kean, sori aku tadi habis..”
”Nganterin Monik les bahasa jerman?”
Bima melongo mendengar tebakan Keana, lalu menggeleng.
”Nemenin Monik ngurus ular-ularnya?”
Bima tambah bingung, ”Aku abis nganterin mamaku belanja, terus beli CD bentar. Nggak ada hubungannya sama Monik. Walaupun yang mau aku omongin ini emang tentang dia.”
            Raut wajah Keana menegang, tentang Monik? Maksudnya?
Bima memesan Toblerone Ice Cream dan Garlic French Fries ke pelayan. Setelah mengucapkan terima kasih, pandangannya beralih ke Keana yang memutuskan untuk meredam emosinya.
Setelah pesanannya datang, Bima menyendok es krimnya dan mulai bercerita dengan serius, ”Aku bingung Kean, jujur aja. Monik itu sempurna, tapi dalam beberapa hal dia sama aku bener-bener nggak cocok. Beda sama aku dan kamu..”
Keana mulai gelisah, topik ini adalah topik yang ia tunggu, sekaligus ia benci. Bima meneruskan,”Kita bisa klop banget ngobrol apa aja. Aku sama dia rasanya, mmm, aku nggak ngerti, kayak, apa ya? Beda lah rasanya! Selain itu.. kalo aku sama dia, nyaris harus selalu aku yang ngalah. Bahkan, aku ngerasa dia cuma bersikap baik dan nyambung waktu masa-masa pedekate aja. Begitu udah pacaran, apa ya istilahnya, dia kayak udah ngerasa memenangkan hatiku, jadi dia bebas bersikap seperti apapun juga.”
Keana memainkan jarinya, setengah marah. Bukan apa-apa, Bima menceritakan cerita ini membuat Keana kesal karena Keana menyayangi Bima! Dia nggak suka mengetahui Bima tidak bahagia bersama Monik. Mungkinkah Bima bisa lebih bahagia bersama dia?
Pikiran Keana langsung ia tepis jauh-jauh begitu mendengar lanjutan kalimat Bima, ”Dia tuh juga nggak sadar apa kalo aku sayang banget sama dia? Dia nggak pernah mau dengerin omonganku. Aku suruh dia jangan tidur malem, jangankan nurutin, bales sms aja jarang. Dia tuh, terlalu sibuk, terlalu banyak kegiatan. Aku aja sampe capek ngeliat dia segitu padet jadwalnya..”
Oh, berarti memang Bima menyayangi Monik.. Keana berpikir getir, bersyukur mengetahui kenyataan itu sekaligus merasa sedikit sakit.
”Coba kalo dia kayak elo ya Kean? Bisa dengerin gue curhat, selalu ada buat gue. Wah, bakal sempurna banget deh dia jadi pacar. Hahaha, coba lo ajarin deh, Kean. Tularin dikit sifat lo ke dia..”
”Bima!” Keana menyeru emosi. Bima mendongak kaget mendengar reaksi itu. Bibir Keana sudah gemetar menahan marah. ”Kamu sadar nggak sih apa yang kamu bicarain?? Sadar nggak??”
Bima terdiam. Keana melanjutkan ucapannya dengan nada yang sedikit lebih rendah. ”Bima, kamu ngerti nggak sih apa yang kamu bicarain? Kamu itu lagi ngomongin cewekmu, tepatnya keburukan cewekmu. Dalam satu hubungan kan harusnya saling bisa nerima kekurangan satu sama lain. Pake ngebanding-bandingin lagi! Dan sekarang, kamu ketemuan sama aku, Monik tau nggak?”
Bima menggeleng, masih belum mengerti maksud Keana. Keana mendesah lelah, ”Apa kamu nggak berpikir bahwa dia kan bisa aja cemburu sama aku..” Bima tercenung. Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. ”Mana mungkin lah dia cemburu sama kamu, Kean..” Bima mencoba santai dengan tertawa sedikit. Keana makin keki, ”Emang aku bukan cewek? Sampe dia nggak mungkin cemburu sama aku?” Bima terdiam. Keana hanya melengos,  ia menghabiskan milkshakenya cepat-cepat, meletakkan gelasnya kembali ke meja lalu meraih tasnya. ”Aku pulang.”
Bima segera meraih tangannya, ”Kean, please.. kita baru ketemu nggak sampe lima belas menit! Kita kan udah lama nggak ketemu sih?” Keana menatapnya tak percaya. Ia menyentakkan tangannya keras, ”Terserah. Aku nggak peduli.”
Bima hanya bisa terpaku di tempatnya sambil menatap kepergian Keana. Layar HPnya berkedip-kedip menampilkan nama Monik. Entah mengapa Bima merasa malas menjawab panggilannya. Malah ia meraih HP CDMAnya lalu menelpon Denny, menceritakan pertemuannya dengan Keana. Ia tercenung saat Denny berkomentar, ”Gue kadang bingung lo itu terlalu polos atau gimana, sampai nggak sadar kalau kelakuan lo itu jahat banget, Za? Kalo ini masih elo yang dulu. Si playboy Eza, justru lo nggak jahat, karena elo nggak bener-bener sayang sama cewek-cewek itu. Sekarang? Lo udah bilang mau berubah, demi Monik. Demi Monik, Za? Apa lo lupa gimana hubungan lo sama Keana dulu. For God’s sake, man! Gue rasa cinta sejati lo itu sebenernya dia, bukan Monik! Tapi terserah lo sih, tanya aja sama diri lo sendiri: Keana atau Monik?”

***

Suci termangu menatap langit-langit, ingatannya kembali ke pertemuannya dengan Ruffan beberapa hari lalu. Tidak bisa dipungkiri, meski ia bersikap cuek dan cenderung judes, tetapi hatinya memang masih terus mengingat Ruffan.
Bagaimanapun, Ruffan adalah cowok yang paling melekat di pikirannya dan pernah menjadi orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Suci mendesah, pertemuan kecil yang mengesalkan waktu itu seharusnya sudah cukup menjadi bukti baginya bahwa cowok kayak Ruffan memang brengsek dan nggak patut diinget-inget lagi. Hanya saja, ketika menatap mata Ruffan waktu itu, sempat terselip perasaan di hatinya bahwa Ruffan sebenarnya tidak sejahat itu.
Ia menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Entah kenapa matanya terasa panas dan berair.
Di kamarnya, Ruffan memangku gitarnya. Picknya dimain-mainkan dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menulis sebaris lirik di kertas.
Just coz her eyes don't tear
doesn't mean her heart doesn't cry..
and just coz she comes off strong
doesn't mean there's nothing wrong..
            Ruffan membanting pensilnya keras. Merutuki dirinya sendiri. Apa-apaan sih menulis lirik semacam itu. Apalagi bayangan Suci tak bisa lepas dari pikirannya. ”Gue bukannya suka sama dia!” Sangkalnya,”Gue Cuma kasian aja sama dia..” Ruffan bergumam pelan. Seakan berdebat dengan pikirannya sendiri. Setelah beberapa menit, ia menyerah. Dipikir-pikir dia dulu emang jahat banget ya sama cewek? Ruffan melirik Hpnya, meraihnya lalu mencari nomor HP Suci. Menghubunginya, tetapi yang ia dengar adalah suara si mbak operator yang mengatakan bahwa nomor itu sudah tidak terpasang.
            Ruffan memutar otak, bagaimanapun caranya, dia harus bisa menebus kesalahannya pada Suci. Entah mengapa jauuuh di sudut hatinya, bukan hanya rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga terselip rasa sayang.. sedikit.

***
 

Vesta menghempaskan tubuhnya di kursi pesawat yang siap landas. Ia menatap lapangan bandara, seorang cewek bule duduk di sebelahnya dan mengangguk pelan untuk menyapa. Vesta hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. Tatapannya beredar, ia bersiap meninggalkan Amerika. Ketika tangannya bergerak terulur untuk mematikan HPnya, tanpa sengaja matanya terantuk pada wallpaper HPnya. Fotonya bersama The Heartbreakers yang memasang tampang konyol di depan kamera. Bintang menjulurkan lidahnya, Ruffan pasang tampang sok imut, Denny bergaya sok keren dengan ekspresi alay, Kei menggembungkan pipinya dan Eza berekspresi melongo persis anak autis. Vesta tertawa kecil, ”Temen-temen, aku kangen sekali..”

***
Bintang melangkah sambil menghentakkan kaki. Tangannya memegang tiga kantong belanjaan yang semuanya berwarna pink. Matanya melirik kesal ke arah Brunette. Cewek setengah bule yang sangat-sangat barbie ini sudah keterlaluan. Hobinya nyalon, dunianya hanya berkisar di mall, kesehariannya shopping, dan bakatnya.. ngambek. Udah kalo diajak ngomong nggak nyambung pula. Cantik tapi berotak kosong. Sombong dan angkuhnya juga kelewatan banget lagi.
Bintang lagi-lagi mengeluh dalam hati. Bener juga kali omongan Vesta ya, cewek-cewek gue nggak ada yang berkualitas gini. Ia melirik Brunette. Tank top pink dan rok mini jeans membalut kakinya yang jenjang. Rambutnya yang cokelat kepirangan digerai begitu saja. Cantik banget memang. Tetapi dari raut mukanya saja sudah jelas terlihat dia tipe cewek seperti apa.
Ketika cewek itu sibuk berceloteh dengan pramuniaga sambil memilih-milih kuteks, diam-diam Bintang meletakkan kantong belanjaannya di kaki meja dekat Brunette. Lalu berjingkat perlahan, mencoba membuat gerakan sewajarnya. Berusaha agar Brunette tidak sadar. Begitu mendekati pintu keluar toko kosmetik itu Bintang langsung berjalan secepat mungkin. Kabuuuur..

***
Keana terpaku menatap sederetan kalimat yang menghiasi layar Hpnya. Dari ketikan smsnya sudah jelas itu dari satu orang: B-I-M-A.

Kean, mav ya ak udh bikin kmu bngung.
Mav jg ak udh ga konsisten sm prasaanku sndiri.
Ak bru sdar klo sbnerny yg slama ini ad buat ak tu km, yg slma ini bneran syg sm ak tu km, yg slma ini bs bkin ak nyman, cm km.
Ak jjur, Kean. Pls, ksi ak stu ksmpatan lg buat bktiin klo ak bs jgain km. Bs syangin km sbesar rsa sygmu ke ak.

Keana mendesah, andai saja sms itu bukan datang sekarang. Tetapi sejak dulu-dulu, pasti Keana sudah dengan mantap menerimanya. Tetapi sekarang? Ketika Keana sudah membunuh perasaannya kepada Bima dan dengan susah payah menegaskan pada dirinya bahwa dia dan Bima hanyalah sahabat, dan itu lebih baik daripada status pacaran, Keana jelas ragu. Ia menghela nafas sejenak sebelum akhirnya mengetik sms balasan.

Maaf, kayakny kta lbh cocok jadi sahabat, Bima. Aku udah bahagia bgt sm hbungan kita yg skrg. Aku gkmau prshbatan kta brubah jd berstatus pcaran yg mgkn ga seawet prshbatan kta. Smg km bs ngerti..

Sending message...
Delivered.

***
six
theres always a second chance of everything .. maybe?

            Cewek itu masih menatapnya sinis dengan tangan terlipat. Ruffan menatapnya grogi sambil tangannya sibuk memilih-milih kaos.
”Emm, mbak, gue minta kaos putih ini deh. Ukuran L ya.”
Suci menatapnya sebal, ketika tangannya meraih kaos itu, ia menyadari ada selembar kertas yang terlipat diselipkan dibawah kaos itu. Suci melirik Ruffan curiga, tetapi kecurigaan itu perlahan terhapus melihat sorot mata Ruffan yang penuh harap.
            Suci berjalan masuk ke gudang sambil membaca kertas Ruffan sekilas. Tulisan tangan Ruffan tidak berubah, masih sama dengan tulisan Ruffan ketika bersamanya dahulu.

Gue tunggu di depan minimarket sebelahnya Ashirtive pas elo pulang nanti.
7 pm
Ada yang mau gue omongin.
Penting.
See you then.
Ruffan
           
Suci tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Banyak hal berkecamuk di pikirannya. Entah mengapa, ia masih saja percaya dengan Ruffan. Meski rasa kesalnya pada cowok tak tahu diri itu menggunung, tak bisa dipungkiri, perasaan itu masih ada, dan akan selalu ada. ”Cinta memang bodoh,” desisnya pelan.
Ketika memberikan T-shirt itu pada Ruffan, Suci menyelipkan kertas bertuliskan pesan singkat. Karena memang di lingkungan kerja manapun, mengobrol akrab antara costumer dan pramuniaga dianggap kurang etis.
Oke, tapi gue nggak bisa lama. Paling malem jam 9.
Ruffan nyaris bersorak kegirangan. Ketika ia membayar T-shirt itu di kasir, senyum tak bisa lepas dari bibirnya, hingga Farrel, manajer Ashirtiva yang dulu sempat melayaninya ketika ia mengambil pesanan kaos yang didesain Vesta, memandangnya curiga.

***

Bintang, Kei dan Denny terheran-heran melihat Ruffan yang masuk ke kelas sambil bersiul-siul riang. Hanya sedetik lalu mereka sibuk membaca buku paket biologi. Yaah, meskipun mereka sudah termasuk siswa yang amat sangat cerdas, tetapi diberi tahu bahwa akan ada kemungkinan ulangan dadakan materi virus sementara bab yang baru diajarkan pada mereka adalah klasifikasi, jelas harus diantisipasi.
            Kei menatap Ruffan yang masih memasang tampang bahagia dan hanya duduk di kursinya sambil tersenyum-senyum sendiri. Lalu Kei menatap Denny dan Bintang yang juga sudah mulai khawatir melihat tingkah laku sobatnya yang rada abnormal ini.
”Lo nggak apa-apa kan, Fan?” tanya Bintang agak ngeri.
”Halo sobatku tercintaa, cuacanya cerah banget yaa..”
Kei mengerutkan kening, ”Mabok lo? Sadar woi!”
Ruffan menatapnya, masih dengan sorot mata berbunga-bunga,”Gue balikan sama Suci, Kei!”
Kei makin nyureng, balikan kok segitu bahagianya sih? Ruffan ini kan sebelas dua belas sama Bintang. Nyaris sama sifatnya. Buat mereka cewek itu cuma properti yang bisa dilepas-pake. Gampang diganti-ganti sesukanya. Toh cewek-cewek itu juga nggak keberatan. Apa yang bikin dia sebahagia itu?
            Denny, Bintang dan Kei akhirnya memutuskan untuk tidak peduli. Ulangan biologi lebih penting!
            Siangnya, di kantin, Ruffan menceritakan semuanya. Ingatannya kembali ke malam yang kemarin.
Suci meneguk cola-nya, ”Mau ngomong apa?”
Ruffan mengusap belakang lehernya pelan, kikuk,”Anu.. euh, gue.. mau minta maaf.”
”Soal yang mana?”
”Yaah.. soal gue udah ninggalin elo, juga soal kasus gue udah mempermalukan elo waktu di Ashirtiva itu..”
Suci memutar bola mata, mendengus geli setengah mengejek, ”Yeah, right. Kayak ada untungnya aja gue maafin elo.”
”Ada, ada..” sahut Ruffan buru-buru.
”Apa?”
”Emm, kita kan bisa temenan lagi. Mungkin juga, mm, memulai dari awal lagi.”
Kali ini Suci tertawa. Benar-benar tertawa. ”Heh, Ruffan. Apa yang bikin lo mikir gue bakal percaya sama lo? Apa sih rencana lo kali ini? Masih banyak kok cewek yang bisa lo goblokin, kalo ke gue nggak ngaruh apa-apa lagi. Gue udah males banget sama lo.”
”Apa yang perlu gue buktiin? Biar elo percaya sama gue?”
“Bukti untuk apa? Nggak ada yang perlu lo buktiin. Sekarang gue nanya, alasan lo apa ngajak gue balikan?”
“Gue.. kangen sama lo.”
“Kangen? Sama gue? Gue yang kayak begini?” Suci menunjuk kaos birunya yang lecek lalu menatap Ruffan seakan cowok itu gila.
“Gue peduli sama elo, gue udah tau kehidupan lo sekarang kayak apa, Suci. Waktu gue ninggalin elo, ternyata, nggak berapa lama bokap lo meninggal ya? Makanya hidup lo berubah drastis.. gue bener-bener nggak tau, Suci. Tau gitu, waktu itu gue nggak ninggalin lo..”
“Lo nggak berhak nyari tau soal kehidupan gue!” Mata Suci nyalang. Sialan, ntar gue tonjok si Farrel.. pikir Suci emosi.
“Gue nggak tau dari Farrel, Wina, atau anak-anak Ashirtiva lain..” Ruffan berkata buru-buru.
Suci mengangkat alis, Ruffan melanjutkan dengan nada agak bersalah,“Kemarin gue ngikutin elo sampe rumah. Maaf gue lancang. Gue bener-bener penasaran sama apa yang terjadi sama lo..”
Suci mendengus, tiba-tiba satu ide muncul di kepalanya, ”Oke gue pegang kata-kata lo. Kita mulai dari awal lagi.”
Ruffan mendongak tak percaya,”Apa?”
”Oh, ini bukan seperti yang elo pikirin. Gue nggak segampang itu percaya sama lo. Gue mau kasih elo masa percobaan.”
Ruffan menatap penuh tanya. Suci tersenyum samar.
”Selama ini yang gue tau lo nggak setipe kayak Bintang. Dalam hal memperjuangkan gebetan, maksud gue. Jadi.. Kalo ada cewek yang nolak lo, well, itu kasus yang jarang terjadi sih, lo bakal cari cewek lain. Jadi, soal elo ngikutin gue sampe rumah, dan bahkan minta maaf ke cewek, wah wah, hal yang jarang banget lo lakuin tuh. Gue cukup memberikan penghargaan untuk itu.”
Ruffan terkesima. Entah mengapa dadanya membuncah bahagia. Dia dipercaya! Dan ia sendiri tidak mengerti mengapa ia sesenang itu saat Suci mempercayainya.
“Jangan seneng dulu. Gue udah bilang kan, gue mau kasih elo masa percobaan. Dan oh ya, satu yang perlu lo tau. Gue udah nggak cinta sama lo. Udah nggak sayang sama sekali, bahkan suka aja nggak ada.”
Ruffan ternganga, mulutnya membuka siap memprotes. Suci mengangkat tangannya, ”Untuk itulah gue nantang elo. Buat bikin gue suka lagi sama lo, buat bikin gue percaya kalo elo emang udah tobat dari kebiasaan buruk lo. Berani?”
            Bintang tertawa keras, ”Hebat, Fan! Ternyata lo ngikutin jejak gue. Bagus, sekarang lo tunjukin ke tuh cewek, lo korbanin apapun biar dia percaya lo suka beneran sama dia. Haha, nggak usah malu ataupun jaim. Kalo elo udah bisa naklukin dia, rasanya sumpah puas banget.” Kei dan Denny berpandangan, nambah satu orang lagi cowok super jahat di The Heartbreakers, bisa tambah buruk nih reputasi mereka.
            Ruffan menggeleng, membuat Bintang menghentikan tawanya lalu menatapnya heran. ”Gue emang bakal berusaha sekuat tenaga gue, ngorbanin apapun buat dia tapi bukan karena gue mau buktiin kalo gue bisa naklukin cewek. Gue emang beneran sayang sama dia.” Ruffan berkata mantap.
            Bintang hanya terkekeh. Seakan hal itu adalah hal yang paling lucu sedunia. Denny dan Kei juga tersenyum, Ruffan jatuh cinta? Well, memang tidak ada hal yang tak mungkin, tapi untuk yang satu ini.. terlalu nggak masuk akal.
”Oke bro. Gue mau jemput Suci dulu ya.”
Mereka mengangkat bahu, cuek. Paling hanya bertahan tiga hari, atau maksimal seminggu.
            Tetapi hal yang mereka saksikan selama dua minggu kemudian membuat tercengang. Ruffan benar-benar menuruti semua yang disuruh Suci. Setiap pagi dan sore ia mengantar-jemput Suci sekolah dan kerja di Ashirtiva. Menemani Suci belanja sampai puluhan kantong. Membetulkan pick-up Suci. Memberi makan kucing-kucing piaraan Suci. Mengerjakan semua tugas sekolah Suci. Bahkan Suci sering memerintahnya melakukan hal-hal yang bagi cowok sangat memalukan. Membelikan pembalut, menemani Suci belanja underwear, membantu ibu Suci belanja di pasar, dan seterusnya.
            Selama dua minggu Ruffan seperti pembantu Suci, budak tepatnya. Dan ia melakukannya tanpa mengeluh. Puncaknya saat Suci menantang dia ngamen dengan dandanan banci, dan Ruffan melakukannya!
            The Heartbreakers akhirnya gerah, mereka memutuskan untuk mulai mengingatkan Ruffan. Siang itu mereka datang ke rumah Ruffan.
Bintang duduk di sofa, menatap Ruffan lurus-lurus. Serius. ”Tau nggak Fan? Waktu gue jadi elo, gue emang berusaha banget supaya cewek itu bisa gue taklukin. Tapi gue nggak separah elo deh, sampe mau-maunya dijadiin kacung. Apalagi ngelakuin hal yang bener-bener ngerusak harga diri kayak gitu.”
Ruffan tersenyum, ”Gue kan udah bilang, gue ngelakuin ini murni tulus, Bin. Gue sayang dia. Gue Cuma berharap dia akhirnya percaya sama gue dan mau nerima gue lagi.”
Bintang menepuk punggung Ruffan, ”Udahlah bro. Gue tau lo capek sebenernya ngelakuin ini. Tapi malu karena elo belom bisa naklukin dia. Udah, hentiin aja, kalo emang dia nggak bisa lo taklukin. Berarti dia cewek tangguh. Tenang aja, gue nggak bakal nertawain kegagalan lo kok.”
Ruffan melirik Bintang tajam, ”Lo bolot ya, Bin? Gue udah bilang juga kalo gue-sayang-sama-Suci. Ini bukan soal penaklukan!”
Bintang lalu menoleh, menyadari nada kemarahan dan keseriusan yang terselip dalam kata-kata Ruffan, ”Lo.. jatuh cinta sama dia?”
”Iya. Gue jatuh cinta sama dia.”
Bintang menepuk jidatnya frustasi, ”lo sadar nggak sih lo ngomong apa? Udah cukup satu orang sakit jiwa aja di sini.” Bintang melirik Kei. Kei yang merasa, jelas tersinggung berat.
”Maksud lo apa?”
“Hah, ngaku aja lah. Lo suka Vesta kan? Lo sayang dia? Lo kira gue nggak tau? Lo udah sebulan ini jomblo, man. Gue tau elo nunggu Vesta. Lo kira kita semua goblok apa sampe nggak nyadar lo jatuh cinta sama dia?” Denny dan Eza berpandangan bingung. Kok topiknya jadi berubah?
Kei mulai panas, “Terus kalo iya kenapa? Bukannya elo juga?”
Bintang mendengus, ”Gue nggak pernah jatuh cinta. Gue cuma pengen naklukin dia doang.”
”Alah, bullshit! Lo nggak usah sok deh. Nggak peduli apa kata lo, cinta itu mungkin dateng ke siapa aja tau!” Kei menyeru marah.
”Tapi nggak buat kita, Kei!” Bintang menggebrak meja. ”Kita ini The Heartbreakers! Apa jadinya kalo kita jatuh cinta? Lo sadar nggak sih, cinta itu membuat bodoh!”
Kei tertawa dengan nada yang tidak enak,”Apa itu bukan akal-akalan lo doang? Lo juga lagi ngejar Vesta kan? Ngaku aja lo!”
”Heh, yang gue pikirin tuh cuma kita: The Heartbreakers. Cinta itu permainan kita, man! Kita yang memegang kendali, bukan cinta mengendalikan kita!”
Ruffan tidak tahan lagi,”Bintang! Lo nggak usah kayak anak kecil lah. Emang waktu The Heartbreakers terbentuk, ada perjanjian kita nggak boleh jatuh cinta?”
”Secara nggak tertulis, IYA.”
”Oh gitu? Kalo gitu gue keluar!” Ruffan melontarkan kata-kata itu dengan mantap.
”APA?” Denny, Eza dan Bintang nyaris berteriak. Kei diam saja.
Bintang mendengus kesal, ”Si Suci itu pake pelet apa sih sampe elo jadi begini??”
Ruffan tambah ngamuk mendengar kata-kata Bintang. Eza menatap Bintang, mengisyaratkan supaya ia tidak usah memperkeruh masalah lagi.
”Oke bro,” Eza mendehem, ”Katakanlah nih cewek berarti banget buat kamu. Oke. Nggak perlu bawa-bawa The Heartbreakers segala. Kita disini, sebagai sahabatmu, cuma nggak tega aja ngeliat kamu diginiin.”
            Ruffan tidak peduli, matanya masih menatap sewot ke arah Bintang ”Gimana nggak bawa-bawa The Heartbreakers? Selama ini tuh kita, GUE, emang brengsek..”
”Terus kenapa kalo brengsek??” Bintang nyolot.
Denny yang sudah muak dari tadi mendengar kata ’cinta’ diperdebatkan, hal yang baru pertama terjadi di antara mereka, jadi makin pusing mendengar perdebatan Bintang-Ruffan,”Heh, sekarang gini deh. Gue nggak peduli soal cinta-cintaan nggak penting ini. Kita selesein secara dewasa aja lah. Pertama, Ruffan, gue nggak peduli lo mau suka atau, mmm, sayang sama dia.” Denny agak alergi memakai kata cinta, memutuskan menggantinya dengan sayang, ”Tapi lo jelas-jelas dibegoin sama Suci. Apalagi pake acara keluar dari the HBs segala. Nggak ada ceritanya ya kita bubar cuma gara-gara ini. Dan kedua, Bintang, lo mending nggak usah segitunya amat lah. Kalo prinsip lo, lo nggak mau jatuh cinta, nggak usah maksain orang lain punya prinsip yang sama, meskipun itu temen lo sendiri.”
            Tiba-tiba bel berbunyi dan seorang cewek dengan dandanan cuek, Suci, melenggang masuk. Ekspresinya sumringah, sempat kaget saat melihat ada The Heartbreakers, tapi segera ia merubah ekspresinya lagi. Ini bakal asyik, pikirnya.
”Ruffan sayang! Gue udah bawain foto-foto lo waktu jadi banci kemaren lhoo. Asooy banget. Hahaha. Temen-temen gue juga pada ngakak ngeliatnya. Lo ada bakat deh sayang. Huahahaha.”
            The Heartbreakers ternganga. Ruffan tersenyum pasrah,”Gitu ya? Bagus deh.” ketika Suci menumpahkan foto-foto itu di atas meja, Kei hanya mampu melongo. Eza dan Denny memalingkan muka, tak tega, Bintang segera terbakar emosi.
            Foto-foto itu benar-benar memalukan. Dan Suci tega memamerkannya ke orang lain? Lalu Ruffan menatap mata Suci dalam-dalam, ”Jadi? Apa aku udah lulus syarat jadi cowokmu?” semua mata menatap Suci yang sedang tersenyum penuh kemenangan.
”Nggak.”
Kei terlonjak, Eza, Denny, Bintang memandang tak percaya. Sementara Ruffan menghempaskan dirinya di sofa. Pasrah.
Eza berdehem, ”Suci, kayaknya kamu kelewatan deh. Ruffan udah jelas-jelas nunjukin kalo dia sayang beneran sama kamu. Dia udah rela ngelakuin hal-hal yang kamu suruh. Masa kamu belum percaya juga?”
Suci tertawa, ”Apa lo mikir selama ini gue gituin dia buat ngetes? Ngetes apa dia sayang sama gue gitu? Hahaha.”
Kei dan Denny berpandangan bingung, Eza mulai merasakan firasat buruk. Ruffan mendongak, cemas, sekaligus penasaran dengan maksud kata-kata Suci.
”Jelas untuk nuntasin dendam gue, goblok!” Nada suara Suci menjadi berubah, penuh amarah.
The Heartbreakers ternganga, Ruffan juga. Suci menggelengkan kepalanya,”Ruffan.. Ruffan, sekuat apapun lo berusaha, gue nggak bakal percaya sama lo! Dan kalo lo ternyata jatuh cinta sama gue, well, gue cuma perlu bertepuk tangan buat diri gue sendiri kan? Menyenangkan sekali ngerjain play boy itu ternyata.”
            Semua tidak ada yang menyangka Suci sejahat itu. Bintang bahkan tadinya sudah mau merelakan, seandainya Suci menerima Ruffan dan mereka benar-benar jadian –atas dasar sayang-. Mereka hanya mengira Suci belum percaya dan ingin memastikan Ruffan nggak akan main cewek lagi. Tapi ternyata..
Ruffan terpekur,”Tapi gue beneran sayang elo, Suci..”
Denny tidak tahan lagi, ”Lo pake susuk apa sih sampe temen gue jadi begini? Bisa-bisanya dia suka sama cewek kayak elo!”
Suci tertawa, ia meraih tasnya, membereskan foto-foto Ruffan diiringi dengan tatapan The Heartbreakers,”Gue pulang dulu. Misi gue udah selesai, foto-foto ini pasti laku banget kalo dimasukin majalah.”
Ruffan menatapnya sedih, ”Lo tega, Suci.”
Suci tertegun sejenak menatap sorot mata yang penuh luka itu. Sebelum ia menjawab tegas, ”Yes, I am.” lalu ia pergi meninggalkan The Heartbreakers yang membisu.

***
            Tidak ada yang tahu, Suci menangis tersedu di kamarnya malam itu. Ia menyesali hal yang baru saja ia lakukan. Jauh di dalam hatinya, ia sadar bahwa sebenarnya ia menyayangi Ruffan. Entah mengapa sudut hatinya masih gengsi, masih ingin membalas perlakuan Ruffan, tapi kini, ia merasa menjadi cewek yang sangat-sangat jahat.
            Tapi tak ada lagi yang bisa dilakukan. Semua sudah terjadi dan ia tak memiliki kuasa untuk mengulang waktu. Matanya menatap kosong langit-langit kamar. Air matanya terus berjatuhan. Dan ia tak bisa berhenti menangis hingga pagi menjelang.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...