The Heartbreakers [Part 3]


three
but there's nothing like your prediction..

Esoknya, Ruffan, Bintang dan Denny masuk kelas Biologi dengan muka tertekuk. Hanya Kei yang ekspresinya biasa saja. Keana menatap mereka heran. Sebelum sempat bertanya apapun, Bintang berkata keras.
"Gila! Semalem itu gila banget!"
"Iya bener," Ruffan mengamini, "It was the worst night ever."
"Coba lo bayangin ya, Na," Denny duduk di depan Keana sebelum memulai ceritanya dengan dramatis.
"Awalnya kita disuruh kencan di tiga tempat berbeda. Gue sama si Patung itu dapet tempat di Cenfiovirna Cafe."
" Patung?" Keana menatap bingung.
"Iya! Tuh cewek emang cewek baik-baik, cakep pula, tapi diemnya nggak nahaaaan. Gue sampe mati gaya dibikinnya. Awalnya gue penasaran, gue kira dia cuek, taunya.. Pemalu abis. Bener-bener nggak confident! Dia sering bolak-balik ke toilet cuma buat ngerapiin dandanannya lah, atau mungkin juga nelpon temennya, minta saran. Begitu balik dia bisa jadi cewek ceria gitu, penuh bahan obrolan. Begitu obrolannya abis, dia diem lagi. Aaargh!"
"Itu belum apa-apa," sahut Ruffan, "Seenggaknya dia normal kan? Cewek date gue, si Elsa itu, tulalit abis! Cantik emang, tapi astagaaa.. Dia nggak nyambung di ajak ngomong apapun! Dan waktu gue tanya, dia suka lagu A7x yang mana dia cuma nyengir bego gitu trus jawab, "Wah, gue nggak tau. Hehe. Gue bahkan baru tau ada band namanya Avenged itu waktu baca profil lo di Ebullience." Dia ngomong gitu dengan entengnya, tanpa perasaan bersalah, padahal gue udah semangat banget cerita betapa gue suka banget lirik Afterlife yang unik, beda, eeh reaksi dia cuma begitu?? Lo bisa bayangin nggak sih perasaan gue waktu itu? Secret Garden Resto yang romantis banget itu bener-bener terlalu bagus buat dia."
"Cuma segitu?" Kata Bintang. "Berarti date gue lebih parah."
"Emang dia kenapa?"
"Si Sandra semalem ngajak gue nginep.. Di rumahnya!"
"Apa??" Keana ternganga nggak percaya.
"Awalnya oke-oke aja. Kita dinner di Mexicia. Ya lo tau lah makanan mexico, tortilla-tortilla gitu. Nggak ada table manner. Gue sama dia klop banget. Nyambung diajak ngobrol apapun. Nggak jaim. Gue juga suka banget sama sikap dia yang nyantai abis itu. seru!Tapi makin lama, makin aneh. Obrolan dia vulgar gitu. Mana di ending dia ngerokok pula. Hih! Ilfil gue!" Bintang bergidik.
Keana sempat melirik dia sinis penuh arti. Bintang segera menyambar tersinggung, ”heh! Maksud tatapan lo itu apaan? Seplayboy-playboynya gue, gue nggak separah itu lah yaa. Gue tetep lebih ngehargain cewek yang sehat. Bebas rokok, narkoba dan free sex!” Keana mencibir meski akhirnya ia percaya. Memang, separah-parahnya the HBs, mereka semua bersih dari hal-hal negatif semacam itu.
Lalu Keana menoleh ke arah Kei, "Kalo cerita lo?"
"Haha, yang ngedate sama gue kan temennya Karin, adek gue. Gue juga udah tau sifatnya kayak apa. Dia baik, nggak macem-macem. Di akhir sempet sih dia nanya kenapa gue milih dia. Kasian gitu, matanya berharap banget. Akhirnya gue jelasin kalo gue nggak ada perasaan apa-apa sama dia. Dia kecewa banget, tapi mau gimana? Gue sama aja nyakitin dia kalo gue boong."
Ucapan Kei yang terakhir membuat The HBs menatapnya heran. Nyakitin cewek? Terus kenapa? Hellooooo, kita ini The Heartbreakers lho, Kei! Mungkin begitu yang ada di benak mereka. Ketika Keana bertanya soal Eza, mereka mengaku tak tahu apa-apa. Akhirnya saat bel istirahat Keana menelpon Eza.
"Kean! Aku berterimakasih banget!" Hati Keana mencelos mendengar suara riang Eza. Kata Eza, Monik adalah cewek terunik yang pernah dia temui. Baik, perhatian, sabar, dan punya banyak hobi seru yang membuat Eza tertarik. Mulai dari memelihara ular di rumahnya, sampai kepiawaiannya memasak. Intinya Eza menemukan cewek impiannya.
Keana memutuskan telepon tanpa bicara apa-apa. Hatinya sakit. Jika memang akhirnya Eza mau benar-benar membuka hatinya untuk seseorang, kenapa itu bukan untuknya?

***

Siang itu, The HBs mencoba latihan di studio Denny yang baru direnovasi. Ruang studio itu bertambah keren dengan tambahan speaker dan bantalan busa berwarna abu-abu gelap untuk peredam suara, serta aksen merah di sudut-sudut.  Cowok banget.
Mereka sempat memainkan lagu-lagu barat yang baru, ketika seseorang membuka pintu studio. Ternyata Vesta! Kei dan Bintang mendongak dengan muka berseri, lalu memalingkan muka salah tingkah saat Denny memperhatikan kejadian itu sambil mengangkat alis.
Mereka kira mereka akan mendengar sapaan riang seperti biasa, "Hey, The Heartbreakers!" tetapi ternyata mereka salah, Vesta masuk dengan wajah sembab, mata memerah dan berantakan. Semua terdiam, Bintang bahkan tidak berani bertanya kenapa.
"Sori ganggu latihannya. Gue.. Gue bisa pinjem Denny nya bentar nggak? Gue butuh banget.." Vesta berkata terbata-bata. Tanpa banyak bicara Denny meninggalkan keyboardnya, dan berjalan cepat keluar.
Di luar studio, Vesta menumpahkan tangisnya. Kei, Bintang, Eza dan Ruffan nggak bisa menebak apa yang terjadi. Dinding studio yang kedap suara menghalangi mereka untuk mencuri dengar percakapan Vesta dan Denny.
Kei merasakan jemari tangannya mengepal dan kegelisahan merambati hatinya. Ia buru-buru menghilangkan kerisauan hatinya. Sial! Kenapa aku harus sebegitu khawatirnya sama dia sih? Dia kan bukan siapa-siapa! Kenal juga baru-baru. Kei berperang dengan pikirannya sendiri lalu akhirnya menyerah kalah dan terpaksa mengakui bahwa dia memang menaruh perhatian khusus pada Vesta.
Bintang hanya mengangkat alis, sobatnya ini mulai mengenal cinta rupanya. Haha, hebat juga Vesta. Bintang memainkan stik drumnya, sesekali matanya melirik pintu studio. Ada satu perasaan asing, yang hebatnya, ia bisa dengan mudah menutupinya.
Denny masuk dan langsung menerima berondongan pertanyaan. Dari Kei dan Bintang terutama. "Vesta, mm, nggak bisa dibilang baik-baik aja sih. Gue juga susah jelasinnya, itu masalah pribadi Vesta. Tapi yang jelas dia titip pesen buat kalian.."
"Mana Vesta sekarang?" Kei memotong emosional.
"Udah pulang.. Intinya Vesta tadi titip pesen. Besok pagi dia berangkat ke Amerika. Dia mau menenangkan pikiran dulu. Ortunya juga mau nyuruh dia observasi sekolah di Seattle. Jadi dia minta maaf selama sekitar sebulan ini nggak bisa dateng. Dia juga nggak bisa dihubungi selama dia di Amerika. Tepatnya nggak mau."
Kei menatap tak percaya. Eza meliriknya curiga, "Kamu kenapa? Segitunya amat sama Vesta.." Kei menjawab setengah nggak fokus, "Nggak, gue nggak papa." Meletakkan gitarnya. Lalu menoleh ke arah Denny, "Yaudah. Ntar kalo dia udah balik, kabarin gue Den."
"Eh, Kei!"
"Apa lagi Den?" Kei menoleh malas.
"Vesta nitip ini sama elo. Dia pengen lo aransemen musiknya. Ada beberapa lirik yang dia bikin." Denny menyerahkan buku tebal dengan cover biru yang didekorasi sendiri dengan kreatif. Tempelan-tempelan potongan gambar, huruf, dan stiker memenuhi cover seperti scrapbook.
Bintang mendengus cemburu. Lalu bersiap pergi. Langkahnya terhenti saat Denny memanggilnya, "Vesta juga titip pesen buat lo, katanya lo harus nemu yang berkualitas. Itu tugas lo. Karena sebenernya lo juga punya kualitas yang bikin lo berhak dapet yang berkualitas. Pusing deh ah. Gue juga nggak ngerti maksudnya apaan."
Bintang tersenyum lebar namun senyumnya serta merta menghilang saat Denny berkata, "Ruffan, Vesta bilang kaos yang lo suruh dia desainin udah jadi. Lo bisa ambil di Ashirtive. Dan Eza, Vesta nitip balikin MP3 lo. Katanya dia suka lagu-lagunya. Sama-sama pecinta Simple Plan sih."
Bintang mendesah kecewa. Begitu juga Kei. Ternyata bukan hanya mereka yang dititipi pesan oleh Vesta. Dan itu bisa berarti mereka nggak istimewa sama sekali bagi Vesta. Mungkin memang Vesta itu belum pernah tertarik sama cowok, pikir Bintang asal. Tetapi sedetik kemudian ia tersentak, atau mungkin sudah? Dan dia nggak tau? Dia memang nggak pernah tanya Vesta udah punya pacar atau belum 'kan?
***

From: Liza
Kmu dmn? Kug gag ksi kbar 2 hr ini? Qu kngen..

From: Ellen
sayaaaang, ntar malem jalan yuk,,
gmana klo mkan sushi?
aku lagi pngen makan jepang nih.
telp aku ya hun,,
muah :*

From: Riri
Fan, ms lo lp hr ni ultah gw y? Tega deh lo g ngasi ucpn. Ya ud gpp deh. Tp lo dtg y ke acara gue.Edelweiss Hotel. 8 pm. Pake topeng y. Don't b l8 my dear Ruffan ;)

Ruffan menghela nafas. Melelahkan sebenarnya menjalani peran seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Ruffan dan Bintang agak mirip. Bedanya terkadang Ruffan merasa jenuh juga, dan ingin jadi seperti cowok normal kebanyakan.  Kalo Bintang sih, nggak ada bosennya, udah bawaan orok kali.
Ruffan membalas sms-sms itu satu persatu. Sementara tangan kirinya lincah membalas sms, tangan kanannya sekilas membetulkan letak kaca mata hitamnya yang melorot, lalu memegang setir kembali.

To: Riri
Wah, ms sms gw yg jam 12 mlm itu g nyampe? Operatornya tuh yg error. Sori banget lho Ri, padahal gw udh bela-belain begadang. Ok, gw pasti dateng ntar malem. See ya my birthday girl!

To: Ellen
Maaf yng, ak rada ga enak badan.  Malem ini gk usah jalan dlu ya. Suara serak juga, ga bisa telp. Kapan2 deh, aku ajak kmu makan sushi yg enaaaak bgt. Ok, yng?

To: Liza
Gw sibuk.

Untuk Riri, jelas bokis abis. Mana dia inget tanggal ultahnya, kenal juga baru sebulanan. Ellen, juga boong. Soal ketauan ato nggak, itu belakangan. Dan Liza, dia emang udah bosen mampus sama tuh cewek. Biar ajalah. Masih banyak cewek cakep bertebaran, ilang Liza doang sih nggak ngaruh, batin Ruffan.
Awalnya Ruffan sempat tertarik dengan Vesta. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk cuek. Ntar kalo Bintang sama Kei nggak berhasil baru gue yang bakal maju, benak Ruffan berkata yakin.
Ciiiit! Terdengar suara rem ditarik dengan keras sebelum akhirnya bunyi keras khas tubrukan yang berasal dari bagian belakang mobil mengejutkan cowok itu. Ruffan buru-buru menepikan mobil lalu keluar untuk mengecek keadaan mobilnya. "Gila," desis Ruffan, "Rusak berat!"
Sebuah mobil pick-up berwarna (mungkin) hitam yang sudah penuh coretan pylox nggak jelas ikut menepi tepat di belakang mobil Ruffan. Sudah jelas, itulah si penabrak.
Seseorang bertubuh kurus melompat turun. Sebelum Ruffan mengomel, seseorang yang ternyata cewek itu udah keburu menyemprotnya sewot, "Lo baru belajar mobil ato apa sih?? Jalanin mobil dengan kecepatan segitu pelannya di jalan dua arah? Lo cari mati apa??"
Ruffan tersadar, dia memang salah. Terlalu sibuk dengan hapenya sehingga lupa bahwa ia berada di tengah jalan raya. "Sori, mbak. Gue lagi nggak fokus nyetirnya tadi." Tangannya bergerak melepas kacamata hitamnya, karena kesannya nggak sopan banget minta maaf sambil sok gaya pake kacamata gituan.
Tanpa diduga Ruffan, begitu melihat wajah Ruffan keseluruhan, cewek itu limbung ke belakang.
"Ruf.. Ruffan??"
"Eh, kok tau nama gue?"
"Fan, lo nggak inget gue? Gue mantan lo! Gue Suci!"
Ruffan tersentak. Dia Suci? Suciana Anastasya? Cewek yang dia putuskan di tengah hujan itu? Ruffan hanya mampu terdiam. Perlahan intro lagu Hujan seakan memasuki pikiran Ruffan.
"Emm, yah .. Jadi lo.. Suci." Ruffan menjawab terbata sambil memandangi penampilan cewek di depannya.

Dia berlari menembus hujan
Bahkan tanpa tinggalkan senyuman..

Kalau itu memang Suci, kemana rambut panjang sepinggangnya yang hitam legam dan berkilau? Rambut cewek itu dpangkas habis menyisakan cuatan-cuatan tak beraturan berhighlight merah.
Dan kalau itu memang Suci, kemana baju-baju femininnya? Dress, legging, bando.. Cewek itu mengenakan kaos hitam pudar dengan lambang rolling stone, celana jins belel khas anak berandal yang penuh dengan sobekan dan rantai.

Aku berdiri tanpa ekspresi
Juga tanpa rasa sakit hati..

Lalu, astaga, apa itu di tangannya? Rokok?

Tetes hujan menghujam
Dia pergi dan tak kupedulikan

"Sori gue nggak ngenalin lo, lo bener-bener.." Ruffan menelan ludah.
"Berubah?" Suci menyahut sinis, "Suci kayak apa yang lo harepin? Suci yang sesempurna gue dulu aja lo tinggal, apalagi yang sekarang!"
Ruffan kehilangan kata-kata.
"Gue muak banget liat muka lo, Fan! Takdir brengsek macam apa yang udah bikin gue ketemu lo di sini! Anj*ng!"
Ruffan makin terguncang mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Suci. Hingga pick-up tua itu pergi, Ruffan masih mematung di tempatnya.
Mobil biru Ruffan memasuki pelataran parkir Ashirtive. Pikirannya sangat lelah sekarang. Yang ada di pikirannya hanyalah mengambil kaos pesanannya secepat mungkin, lalu segera pulang dan tidur.
"Ada yang bisa dibantu?" Seorang cowok berkacamata bertanya dengan senyum ramah. Yang mau nggak mau membuat Ruffan merasa agak kesal. Cowok ganteng bakal ngerasa terancam kalo ketemu cowok ganteng lain, memang begitu kenyataannya kan?
"Gue mau ambil pesenan, tiga kaos, yang didesain sama temen gue, Vesta."
"Oh, mas Ruffan ya? Oke, sebentar.”
”Yang ini?" Cowok itu memastikan sambil meletakkan tiga kaos berwarna biru tua, hitam, dan merah.
Hebat Vesta, pikir Ruffan, emang keren desainnya.
”Iya, yang ini,” Ruffan meraih salah satu kaos, membuka lipatannya dan berdecak kagum. Bahannya adem, desainnya simpel tapi nggak pasaran. Keliatan mahal dan eksklusif juga. Ruffan tersenyum puas,"Berapa?"
"Oh, seluruh total pembayaran sudah dilunasi oleh Vesta."
"Ha?"
"Iya mas, Vesta biasanya emang sering desainin kaos atau dress buat kita. Tapi kemaren selain desain, dia bayarin juga buat kaos-kaos itu. Jadi mas tinggal ambil."
Ruffan tercenung.
"Mas ini.. Pacarnya?" Cowok itu bertanya dengan nada ragu. Seakan tidak mungkin cowok sejenis Ruffan jadi pacarnya Vesta.
"Kenapa lo nanya gitu? Kalo iya kenapa, kalo nggak juga kenapa?" Jawab Ruffan ketus. Cowok itu hanya tertawa.
"Nanya doang, mas mau liat-liat dulu atau gimana?"
Ruffan mendengus kesal. Ia melirik name tag cowok itu: Farrel. Nanti ia akan bertanya pada Vesta soal cowok ini, janjinya dalam hati. Ia sudah kepalang mau keluar distro itu tapi tak urung deretan kemeja dan jins di sudut ruangan menarik perhatiannya. Karena sibuk dengan pikirannya, dia tidak menyadari bahwa distro itu memang penuh outfit-outfit keren. Atmosfirnya juga cozy. Tanpa banyak bicara dia meninggalkan cowok itu. Mulai memilih-milih baju. Akhir-akhir ini memang ia jarang belanja. Bukannya Ruffan doyan shopping atau apa, toh biasanya juga ia hanya menemani para ceweknya ke butik-butik sambil berusaha keras tidak menguap. Soal baju, ia juga sering dibelikan para fansnya. Cuma, mungkin ia butuh baju yang lumayan buat ke ultah Riri nanti malam.
"Zizi, kardus itu isinya stok kaos polos yang belom didesain kan? Bawa kesini dong! Gue mau liat warnanya apa aja, ada hijau army nggak?" Ruffan tahu itu hanya pembicaraan antar staf distro itu, tapi entah mengapa ada sesuatu yang memaksa dia untuk menoleh. Seketika ia ternganga. Cewek yang dipanggil Zizi itu ternyata Suci! Tidak, penglihatan Ruffan tidak mungkin salah. Meski sudah berganti baju dengan kaos merah berlogo Ashirtiva dan bandana putih serta kaca mata minus yang membuat cewek itu terlihat lebih rapi dan dewasa, rambutnya yang pendek dan jinsnya yang belel membuktikan bahwa cewek itu memanglah Suci. Ketika mata mereka berdua bertemu, kardus yang dibawa Suci jatuh ke lantai.
Seketika itu juga ia berjalan menghampiri Ruffan yang masih bengong, agak-agak takjub dengan penglihatannya.
"ELO?? Ngapain lo kesini?? Lo buntutin gue?!"
”Ha?” Ruffan bertanya setengah linglung.
”Heh! Mau lo itu apa sih?? Buntutin gue segala! Gue nggak bakal kepengaruh sama lo lagi tau, BRENGSEK!”
Emosi Ruffan mulai naik.
"Geer banget lo! Siapa juga yang buntutin lo! Emang ini distro punya lo apa?"
"Emang bukan punya gue! Tapi gue kerja disini! Elo? Lo bahkan nggak pernah sekalipun ke sini!"
"Oh, jadi lo kerja di sini?" Ruffan tersenyum licik. "Kalo gitu tolong dong mbak," dengan penekanan penuh arti pada kata 'mbak', Setelah mengambil satu kemeja merah bata secara asal dari gantungan, yang untungnya cukup keren dengan aksen hitam di punggung, Ruffan melanjutkan, "Gue minta kemeja ini, ukuran M ya. Atau gue sekalian liat yang L-nya deh. Dan sepatu itu," dagu Ruffan terangkat menunjuk sepasang sepatu warna coklat tanah, "Gue minta ukuran 42." Suci ternganga. Tangan Suci, atau Zizi, nyaris terangkat untuk menampar Ruffan. Tapi tatapan Farrel menahannya. Bagaimanapun Ruffan adalah tamu.
Dengan air mata menggenang dan mulut terkunci menahan amarah, Suci menyambar kemeja itu, lalu berlari ke atas.
Ruffan tersenyum penuh kemenangan. Bait terakhir Hujan disenandungkannya pelan.
Kau pikir ku kan menangis tersedu
kau bahkan tak berbekas di hatiku!
***
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...