The Heartbreakers [Part 1]
























klik gambar untuk memperbesar :D
Keana membaca liputan di Ebullience, majalah SMA Einstein, itu sambil mendengus kesal lalu melemparnya ke tempat tidur. Kiky, adiknya, memandangnya heran sebelum akhirnya memekik melihat cover Ebullience yang menampilkan The HBs.
"Gilaaaaaa, ganteng bangeeet, siapa aja nih kak??" Kiky menatap cowok di cover itu satu persatu. "Mana yang lebih ganteng yaa? Yang ini atau yang ini.. Mm, wah namanya keren-keren. Huaaa, kakaaaak, aku sebel nggak seSMA sama kakaak. Cowok-cowok di sekolahku nggak ada apa-apanya. Yang tiga ini ganteng bangeeet lagi." Cerocos Kiky sambil menunjuk foto Kei, Eza, dan Bintang. Keana menoleh tanpa minat, "Hem."
Kiky masih terus berbicara dengan kecepatan tinggi dan antusiasme gila-gilaan. Sementara Keana tenggelam dalam pikirannya sendiri ke peristiwa sebulan lalu.
"Hai, boleh duduk di sini?"
Keana mendongak dan terpana memandang cowok super keren di depannya. Rambut agak ikal hitam legam, alis tebal, dan sepasang mata elang warna cokelat. T-shirt putih printed, dengan celana jins gelap menyempurnakan penampilannya.
"Mmm, maaf?" Cowok itu menegurnya lembut sekali lagi. Keana tergeragap malu, sadar dia terlalu memperlihatkan keterpesonaannya. Keana mengedarkan pandangannya ke sekeliling food court. Memang penuh. Keana mengangguk dan tersenyum manis.
Cowok itu duduk di sebelah Keana dan menatapnya penuh terima kasih. Keana melirik nampan cowok itu, nasi goreng, kerupuk, jus melon, dan sebotol air mineral. "Bukan pecinta junk food, syukurlah," pikir Keana.
"Makasih ya.. Sori lho kalo ganggu. Habis tempatnya penuh banget."
"Iyalah, kan ini hari Minggu. Nggak papa kok."
"Kamu nggak lagi nunggu orang kan? Pacarmu mungkin?" Cowok itu celingukan, mungkin karena kursi yang mereka duduki memang hanya cukup untuk dua orang. Keana menggeleng sambil tersenyum lagi. Meski ia agak jengah campur senang ketika cowok itu menggunakan bahasa aku-kamu. Bahasa yang biasanya digunakan untuk orang yang (seharusnya) sudah akrab.
"Aku Bima." Katanya sambil mengulurkan tangan, "Kamu?"
"Keana."
"Nama yang bagus," pujinya.
Sejenak mereka sibuk dengan makanan masing-masing, hingga tiba-tiba HP Keana berbunyi melantunkan Half Alive. Bima tampak terkejut.
Keana mengangkat telpon yang ternyata dari Rivi, sahabatnya, dia cuma mau titip DVD Solstice kalau Keana mampir ke toko CD. Keana hanya menjawab, "Beres." Lalu mengakhiri sambungan..
"Kamu suka Secondhand Serenade?"
"Iya, suka. Tapi HPku baru rusak kemarin. Jadi lagu-lagu di HPku ilang semua, termasuk lagu-lagu Secondhand Serenade ku. Terutama Fall For You, ya ampuun. Padahal itu lagu favoritku." Ucapnya dengan nada agak kesal.
"Itu juga lagu favoritku! Aku punya, mau?" Ceplos Bima langsung.
Mata Keana berbinar, "Mau!"
Bima mengeluarkan HPnya dan mengaktifkan bluetoothnya. Sesudah itu mereka terlibat dalam obrolan seru mengenai Secondhand Serenade dan lirik lagu mereka yang luarbiasa keren.
Tanpa sengaja cowok itu menyenandungkan lirik Fall For You, "’Cause the girl like you is impossible to find. Is impossible to find .." Seketika wajah Keana memerah. Walaupun dia tahu lagu itu bukan khusus dinyanyikan untuknya, tetapi tetap saja dia merasa tersanjung.
"Suaramu bagus," komentar Keana singkat. Bima hanya tersenyum. ”Thanks.” ujarnya singkat.
"Tadi temenmu minta dibeliin DVD Solstice ya? Kenapa nggak nonton aja sih? Mumpung filmnya lagi diputer."
"Iya, ya? Lagian juga belum tentu DVDnya udh keluar. Ngomong-ngomong, emang tadi kedengeran?"
Bima meringis, "Iyalah. Suara temenmu gede banget gitu."
Keana ketawa campur malu. Lalu langsung salting waktu Bima memandang matanya hangat.
"Kamu cantik ya kalo lagi ketawa."
Keana menjawab setengah tersedak, "Apa?"
"Kamu cantik kalo lagi ketawa."
"Gombal."
"Enggaklah. Aku kan ngomong apa adanya. Lagian gombal itu kan kalo cowok mau ngegoda cewek. Aku baru kenal masa mau godain kamu?"
Jawabannya melegakan Keana karena itu berarti ia cowok baik-baik. Tapi ia juga sedikit kecewa karena sepertinya Bima tidak tertarik padanya lebih dari teman.
"Mau nonton Solstice, Kean? Aku lagi nggak ada kerjaan nih. Itu juga kalo kamu lagi nggak sibuk sih."
Nonton? Sama cowok yang baru dikenalnya? Apa nggak dianggep gampangan? "Tapi aku pengeeeen," jerit hati Keana.
"Mm, gimana ya .." Keana berpura-pura ragu.
Bima tertawa pelan, "Tenang, Keana. Hanya supaya kita bisa jadi teman baik"
Keana lagi-lagi mendesah setengah lega setengah kecewa, sebelum akhirnya mengangguk dan berjalan riang menuju XXI.
Itu peristiwa sebulan lalu. Sesudahnya mereka masih sering smsan hingga Keana menyinggung tentang adanya band di sekolahnya bernama The Gank of Playboys (akhirnya berubah menjadi The Heartbreakers) dan Keana menyebutnya sebagai sekelompok orang sok yang herannya, super plus dalam bermusik tetapi berkelakuan minus.
Bima hanya tertawa saat itu. Ia bertanya, "Berani nggak kamu ngomong yang barusan itu langsung sama personil bandnya?"
"Siapa takut!?" Jawab Keana semangat.
"Bener lho ya. Suatu saat, aku bakal nagih janjimu."
Sesudah itu Bima menghilang, dari mulai jarang menghubunginya, hingga tidak pernah sama sekali. Keana tidak pernah menduga bahwa ada satu personil the HBs yang bukan siswa Einstein. Sang vokalis penyuka Secondhand Serenade, Muhammad Reza Bimasena.
Yang lebih membuat Keana sakit hati, ternyata nama panggilan Bima yg asli adalah Eza. Keana nggak tau alasan mengapa Bima memperkenalkan dirinya sebagai Bima, bukan Eza. Yang jelas, pikiran buruknya mengatakan, bahwa Bima memiliki nama panggilan serta sifat yang berbeda untuk diperkenalkan pada semua cewek. Mungkin Bima untu versi cowok baik-baiknya, dan Eza, seperti layaknya The HBs lain. Keana mencibir, sekaligus menyesali mengapa ia sempat tertarik pada Bima.
SMA Einstein adalah SMA swasta unggulan yang hanya berisi siswa-siswi yang memiliki bakat tertentu. Tidak hanya mumpuni dalam bidang akademik, walau bisa dipastikan seluruh anak di Einstein cerdas luar biasa. Nilai rata-rata minimal untuk masuk Einstein adalah 9,2 dan setiap siswa Einstein harus memiliki setidaknya satu bakat non-akademik. Baik itu musik (band, paduan suara, ekskul musik -piano, biola, gitar-, serta olah vokal), seni (mencakup seni rupa, seni busana, drama, seni tradisional, dance, cheers, dan seni modern seperti graffiti, desain grafis, desain web, dan desain produk), sastra (dalam 11 bahasa pilihan: Indonesia, Inggris, Jepang, Mandarin, Prancis, Jerman, Spanyol, Itali, Korea, Belanda, dan Arab), olahraga (basket, sepakbola, futsal, voli, badminton, anggar, atletik, tennis, tolak peluru, skate, renang, berkuda, bahkan catur), dan bakat uncategorized (termasuk di dalamnya sulap, broadcast, modelling, membatik, menenun, dan lain-lain)
Keana menguasai 6 bakat yaitu di bidang drama, dance, sastra Jerman, berkuda, membatik, dan renang, plus otak super encer yang otomatis membuatnya menjadi satu-satunya cewek yang selalu masuk ke dalam The Big Five Einsteiners. 4 lainnya? Tidak lain adalah empat cowok yang tergabung dalam The Heartbreakers.
Mungkin itulah salah satu alasan Keana agak sirik sama The HBs. Keana nggak suka sama perilaku mereka yang menurutnya nggak bisa ngehargain cewek. Dan cuma jago tebar pesona doang. Tapi Keana terpaksa mengakui bahwa mereka memiliki banyak bakat di samping pintar luar biasa.
Masih pukul 06.45. Keana menghempaskan tasnya yang berat di samping Rivi. Rivi menoleh padanya dengan heboh. "Kean! Ternyata Bima yang lo ceritain itu si Eza! Ya ampun, gue nggak nyangka, tapi dia emang.." Tangan Kean terangkat, lalu berucap dingin, "Gue udah tau. Nggak usah dibahas, males gue. Udah ngerjain presentasi Bu Clara belom?" Ucap Keana mengalihkan topik. Rivi yang tahu betul sifat Keana kalo udah bad mood memilih meninggalkan topik tadi.
Sesaat keduanya asyik mengobrol, tanpa mereka sadari sepasang mata menatap mereka, lalu tersenyum tertarik saat melihat tawa Keana yang lepas dan menggemaskan.

***

”Kei, lo lagi ngapain sih? Belajar?” Ardi melongokkan kepala melihat ke kertas yang sedang dipegang Kei. Kei mendengus, setengah sombong. Dengan otak jenius yang dimilikinya, memang nyaris mustahil melihat dia belajar. Kei memang benar-benar cerdas. Hanya dengan membaca sekilas, atau sekali mendengar pelajaran saja, dia langsung paham.
Ardi yang sadar ditatap dengan pandangan ‘lo-sadar-nggak-sih-lo-tanya-apa-kepada-siapa?’ itu akhirnya angkat bahu lalu berjalan menuju bangkunya. Kei sedang menatap tulisan kecil-kecil yang berbaris rapi membentuk lirik You Should Give Me an Oscar. Lirik lagu yang ditulis oleh sepupu Denny, Vesta, memang menyiratkan kelelahan yang amat sangat. Walaupun 80% musiknya diaransemen oleh Ruffan dan dia, tetapi kekuatan lagu itu memang ada di liriknya:

I was tired
To pretend that everything was okay
It's exhausted
To show everyone a big fake happiness

Everyday I told them a story
about my perfect life
But inside actually
I refrained from reaching for the knife
To kill myself ..
Cause I belive if I die
No one will really cry

Reff:
Hey!
You should give me an oscar
For my perfect acting
I was crying
while I was smilling

Hey!
I locked myself on an empty room
Screaming out loud: Just call me bloom
And then I opened the door
Should I say more?

They didn't care at all
Then ask me to the mall
Well, i'm professional actor
And don't want they think I'm a bore

Back to Reff:

That's the fact, you know.
That's why ..
You should give me an oscar

Kei mendalami lirik itu sekali lagi, lalu pikirannya melayang ke awal pertemuan The HBs dengan Vesta.. Pada saat itu nama mereka masih The Gank of Playboys.
Sebelum latihan di studio rumah Denny, Denny muncul membawa beberapa kertas bertuliskan puisi. Beberapa di antaranya bertema persahabatan, cinta, impian, selebihnya bertemakan luka yang mendalam. Juga ada beberapa puisi yang tidak mereka mengerti. Abstrak. Sebagian besar ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris.
"Apa nih, Den? Karangan lo? Sejak kapan lo puitis gini?" Tanya Bintang.
"Ini karangan sepupu gue," ujarnya sambil menunjuk cap huruf V berukir unik yang ada di pojok kanan bawah kertas, "Namanya Vesta."
Sejenak mereka tenggelam dalam puisi-puisi itu.
"Boleh juga puisinya, nggak cengeng. Meskipun temanya dark gini." Celetuk Kei.
"Terus? Maksud lo bawa puisi-puisi dia kesini apa?" Tanya Ruffan sambil mengerutkan kening.
"Kita emang musisi jenius, tapi kayaknya soal bikin lirik masih belom jago deh. Kita semua payah merangkai kata-kata ala sastrawan gitu, walaupun jago ngerayu cewek. Baru Bintang yang bisa bikin lirik Menembus Pikiran Mereka. Meskipun musiknya asik, tapi kata-katanya sederhana banget.."
"Hubungannya sama pertanyaan Ruffan?" Potong Bintang nggak sabar.
"Kompetisi band SMA sekarang-sekarang ini lagi hobi ngasi syarat tiap band harus punya minimal satu lagu indonesia, dan satu lagu barat. Vesta jago banget bikin puisi dan gue yakin skill-nya dalem bikin lirik juga luar biasa.
Kei memotong,”Bukannya skill bermusik lebih penting daripada lirik?”
Denny menatapnya tajam,”Kita kan udah pernah bikin komitmen, Kei. Kita nggakmau jadi band yang bisanya cuma ngamen doang. Kebetulan gue juga udah minta tolong Vesta buat bikinin kita satu lagu barat.."
"Apa? Lo kok ngambil keputusan ga dirundingin dulu sih Den??" Bentak Ruffan tiba-tiba. Anak itu memang agak emosional. "Gue bukan ngeraguin kemampuan sepupu lo itu. Dari puisinya gue emang ngerasa cocok sama tuh anak. Tapi, ya Tuhan, Lo nyadar nggak, Vesta itu cewek, kan? Nah, apa lo nggak mikir gimana kalo dia tiba-tiba jatuh cinta sama salah satu dari kita, terus semuanya jadi runyam? Atau dia nggak profesional, dan malah mencampur adukkan hubungan kerjaan sama pribadi? Dan.. Satu yang mau gue tanya, dia minta honor nggak?"
"Ya enggaklah!" Suara Denny ikut meninggi, "Pertama, Vesta nggak bakal suka atau jatuh cinta sama salah satu dari kalian, biarpun kita The Gank of Playboys, ga usah sepede itulah seakan-akan semua cewek di Indonesia bakal suka sama kita!" ucapan Denny membuat Bintang mendongak, lalu tersenyum khas anak bandel, dia mencium adanya tantangan, Denny nggak peduli dan melanjutkan kalimatnya, "Kedua, bikin lirik itu emang hobinya dia, tapi dia nggak bisa main musik sama sekali! Makanya dia juga minta tolong sama kita buat bikinin nada untuk lirik-lirik yang dia bikin. Katanya sore dia mau kesini minjem CD nintendo Wii gue. Mungkin setengah jam lagi dia nyampe. Kalian bisa nilai sendiri dia kayak apa."
Wajah Ruffan yang semula kesal mulai mengendur. Mereka semua manggut-manggut. Sekitar lima belas menit kemudian, seorang cewek berpenampilan simpel, tapi manis, masuk ke kamar Denny sambil tersenyum. kesan pertama yang ditangkap mereka adalah dia anak rumahan yang pendiam dan tertutup. Kesan itu hilang seketika saat cewek itu menyapa Denny keras, "VJ! Tambah jelek aja lo!"
Mereka seketika terpana.
Denny mencak-mencak, "Heh, udah berapa kali gue bilang. Nggak usah manggil gue vije-vije gitu. Nama gue bagus: D-E-N-N-Y. Daripada nama lo? FIESTA, merek nugget gitu."
"Dan merek kondom," Bintang menyahut sambil tertawa. Vesta cuek. "Yee, bagus apaan, pasaran gitu nama lo. Lagian gue manggil lo "Den, Den" gitu berasa pembokat manggil majikan. Nama lo kan Daniel. Nah, mirip si VJ itu kan. Dan asal lo tau ya, nama gue tuh VESTA. V-E-S-T-A. Tau nggak lo itu nama apa? Itu tuh nama romawi buat Dewi Bumi, Hestia. Dewi yang sangaaaat baik hati dan penyayang. Kayak gue lah kurang lebih."
Semua melongo. Bingung, bagaimana cewek itu bisa mengucapkan sederet kalimat panjang itu nyaris tanpa koma.
"Terserah lo lah. Ves, kenalin, nih temen-temen band gue."
Vesta menoleh dan tersenyum menyenangkan. Matanya bersemangat hingga seakan bercahaya. Ia mengulurkan tangan. "Vesta".
Bintang mengambil kesempatan itu dengan menatap mata Vesta lama sambil menjabat tangannya dan tersenyum maut. "Bintang."
Reaksi Vesta sungguh di luar dugaan. Dia hanya tersenyum sekilas lalu melepas tangannya dan berkenalan dengan yang lain. Tanpa salting, tanpa wajah memerah (sulit ditebak juga karena pipi Vesta memang merona pink). Dan cuek. Tidak ada kesan minder, apalagi euforia berlebihan, bisa berkenalan dengan cowok-cowok yang sudah mematahkan hati banyak cewek itu.
Kei ujung-ujungnya penasaran juga. Ruffan mengangkat alis. Eza mulai terusik. Dan Bintang? Jangan tanya. Dia blingsatan setengah mati ingin menaklukkan cewek itu.
Sejam berlalu, cowok-cowok itu mulai menyerah. Mereka menghentikan aksi tebar pesona mereka dan mulai berkonsentrasi mengikuti diskusi Denny dan Vesta tentang lirik lagu.
Mereka tertohok saat sebelum pulang Vesta berkata, "Kalian lebih menyenangkan begini daripada bersikap kayak tadi. Bintang, sikap SKSD mu bener-bener bikin aku pengen ketawa. Ruffan, jangan sok gentle gitu, sekarang zaman cewek independen, aku nggak perlu dianter pulang sama kamu. Kei, kamu nggak perlu sok-sok natap mataku dalem-dalem gitu, aku nggak kepengaruh. Dan Eza, buang jauh-jauh sikap sok cool mu itu, aku nggak bakal penasaran."
Mereka speechless, hanya Denny yang mati-matian menahan tawa.
"See ya The Heartbreakers. Ngomong-ngomong, nama itu lebih elegan daripada The Gank of Playboys lho. Lebih classy kesannya. Mungkin bisa kalian pertimbangkan untuk mengganti nama band kalian," tukasnya sambil tersenyum manis.
Setelah mobil Vesta berlalu, Denny melepaskan tawanya yang sedari tadi tertahan. "Gila, ekspresi lo semua lucu banget! Hahahaha, ngakak gue. Rasain lo. Gue bilangin ya, sepupu gue tuh bukan cewek sembarangan. Huahahaha."
Muka Eza memerah sampai telinga karena malu, begitupun yang lain.
"Heh, jadi lo udah ngasi tau dia sebelumnya ya? Soal kita?"
"Nggak juga, gue cuma sempet ngasi tau nama band kita ke dia. Dia cuma ketawa pelan gitu, dan bilang suatu saat pengen ketemu personilnya."
"Huah, tapi asik kok anaknya. Lo bener. Kekhawatiran gue berlebihan.." Ucap Ruffan menetralkan suasana.
Hanya Bintang yang masih diam. Sepertinya berpikir keras, bagaimana cara menaklukkan Vesta.
Masih pukul 06.45. Keana menghempaskan tasnya yang berat di samping Rivi. Rivi menoleh padanya dengan heboh. "Kean! Ternyata Bima yang lo ceritain itu si Eza! Ya ampun, gue nggak nyangka, tapi dia emang.." Tangan Kean terangkat, lalu berucap dingin, "Gue udah tau. Nggak usah dibahas, males gue. Udah ngerjain presentasi Bu Clara belom?" Ucap Keana mengalihkan topik. Rivi yang tahu betul sifat Keana kalo udah bad mood memilih meninggalkan topik tadi.
Sesaat keduanya asyik mengobrol, tanpa mereka sadari sepasang mata menatap mereka, lalu tersenyum tertarik saat melihat tawa Keana yang lepas dan menggemaskan.

***

”Kei, lo lagi ngapain sih? Belajar?” Ardi melongokkan kepala melihat ke kertas yang sedang dipegang Kei. Kei mendengus, setengah sombong. Dengan otak jenius yang dimilikinya, memang nyaris mustahil melihat dia belajar. Kei memang benar-benar cerdas. Hanya dengan membaca sekilas, atau sekali mendengar pelajaran saja, dia langsung paham.
Ardi yang sadar ditatap dengan pandangan ‘lo-sadar-nggak-sih-lo-tanya-apa-kepada-siapa?’ itu akhirnya angkat bahu lalu berjalan menuju bangkunya. Kei sedang menatap tulisan kecil-kecil yang berbaris rapi membentuk lirik You Should Give Me an Oscar. Lirik lagu yang ditulis oleh sepupu Denny, Vesta, memang menyiratkan kelelahan yang amat sangat. Walaupun 80% musiknya diaransemen oleh Ruffan dan dia, tetapi kekuatan lagu itu memang ada di liriknya:

I was tired
To pretend that everything was okay
It's exhausted
To show everyone a big fake happiness

Everyday I told them a story
about my perfect life
But inside actually
I refrained from reaching for the knife
To kill myself ..
Cause I belive if I die
No one will really cry

Reff:
Hey!
You should give me an oscar
For my perfect acting
I was crying
while I was smilling

Hey!
I locked myself on an empty room
Screaming out loud: Just call me bloom
And then I opened the door
Should I say more?

They didn't care at all
Then ask me to the mall
Well, i'm professional actor
And don't want they think I'm a bore

Back to Reff:

That's the fact, you know.
That's why ..
You should give me an oscar

Kei mendalami lirik itu sekali lagi, lalu pikirannya melayang ke awal pertemuan The HBs dengan Vesta.. Pada saat itu nama mereka masih The Gank of Playboys.
Sebelum latihan di studio rumah Denny, Denny muncul membawa beberapa kertas bertuliskan puisi. Beberapa di antaranya bertema persahabatan, cinta, impian, selebihnya bertemakan luka yang mendalam. Juga ada beberapa puisi yang tidak mereka mengerti. Abstrak. Sebagian besar ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris.
"Apa nih, Den? Karangan lo? Sejak kapan lo puitis gini?" Tanya Bintang.
"Ini karangan sepupu gue," ujarnya sambil menunjuk cap huruf V berukir unik yang ada di pojok kanan bawah kertas, "Namanya Vesta."
Sejenak mereka tenggelam dalam puisi-puisi itu.
"Boleh juga puisinya, nggak cengeng. Meskipun temanya dark gini." Celetuk Kei.
"Terus? Maksud lo bawa puisi-puisi dia kesini apa?" Tanya Ruffan sambil mengerutkan kening.
"Kita emang musisi jenius, tapi kayaknya soal bikin lirik masih belom jago deh. Kita semua payah merangkai kata-kata ala sastrawan gitu, walaupun jago ngerayu cewek. Baru Bintang yang bisa bikin lirik Menembus Pikiran Mereka. Meskipun musiknya asik, tapi kata-katanya sederhana banget.."
"Hubungannya sama pertanyaan Ruffan?" Potong Bintang nggak sabar.
"Kompetisi band SMA sekarang-sekarang ini lagi hobi ngasi syarat tiap band harus punya minimal satu lagu indonesia, dan satu lagu barat. Vesta jago banget bikin puisi dan gue yakin skill-nya dalem bikin lirik juga luar biasa.
Kei memotong,”Bukannya skill bermusik lebih penting daripada lirik?”
Denny menatapnya tajam,”Kita kan udah pernah bikin komitmen, Kei. Kita nggakmau jadi band yang bisanya cuma ngamen doang. Kebetulan gue juga udah minta tolong Vesta buat bikinin kita satu lagu barat.."
"Apa? Lo kok ngambil keputusan ga dirundingin dulu sih Den??" Bentak Ruffan tiba-tiba. Anak itu memang agak emosional. "Gue bukan ngeraguin kemampuan sepupu lo itu. Dari puisinya gue emang ngerasa cocok sama tuh anak. Tapi, ya Tuhan, Lo nyadar nggak, Vesta itu cewek, kan? Nah, apa lo nggak mikir gimana kalo dia tiba-tiba jatuh cinta sama salah satu dari kita, terus semuanya jadi runyam? Atau dia nggak profesional, dan malah mencampur adukkan hubungan kerjaan sama pribadi? Dan.. Satu yang mau gue tanya, dia minta honor nggak?"
"Ya enggaklah!" Suara Denny ikut meninggi, "Pertama, Vesta nggak bakal suka atau jatuh cinta sama salah satu dari kalian, biarpun kita The Gank of Playboys, ga usah sepede itulah seakan-akan semua cewek di Indonesia bakal suka sama kita!" ucapan Denny membuat Bintang mendongak, lalu tersenyum khas anak bandel, dia mencium adanya tantangan, Denny nggak peduli dan melanjutkan kalimatnya, "Kedua, bikin lirik itu emang hobinya dia, tapi dia nggak bisa main musik sama sekali! Makanya dia juga minta tolong sama kita buat bikinin nada untuk lirik-lirik yang dia bikin. Katanya sore dia mau kesini minjem CD nintendo Wii gue. Mungkin setengah jam lagi dia nyampe. Kalian bisa nilai sendiri dia kayak apa."
Wajah Ruffan yang semula kesal mulai mengendur. Mereka semua manggut-manggut. Sekitar lima belas menit kemudian, seorang cewek berpenampilan simpel, tapi manis, masuk ke kamar Denny sambil tersenyum. kesan pertama yang ditangkap mereka adalah dia anak rumahan yang pendiam dan tertutup. Kesan itu hilang seketika saat cewek itu menyapa Denny keras, "VJ! Tambah jelek aja lo!"
Mereka seketika terpana.
Denny mencak-mencak, "Heh, udah berapa kali gue bilang. Nggak usah manggil gue vije-vije gitu. Nama gue bagus: D-E-N-N-Y. Daripada nama lo? FIESTA, merek nugget gitu."
"Dan merek kondom," Bintang menyahut sambil tertawa. Vesta cuek. "Yee, bagus apaan, pasaran gitu nama lo. Lagian gue manggil lo "Den, Den" gitu berasa pembokat manggil majikan. Nama lo kan Daniel. Nah, mirip si VJ itu kan. Dan asal lo tau ya, nama gue tuh VESTA. V-E-S-T-A. Tau nggak lo itu nama apa? Itu tuh nama romawi buat Dewi Bumi, Hestia. Dewi yang sangaaaat baik hati dan penyayang. Kayak gue lah kurang lebih."
Semua melongo. Bingung, bagaimana cewek itu bisa mengucapkan sederet kalimat panjang itu nyaris tanpa koma.
"Terserah lo lah. Ves, kenalin, nih temen-temen band gue."
Vesta menoleh dan tersenyum menyenangkan. Matanya bersemangat hingga seakan bercahaya. Ia mengulurkan tangan. "Vesta".
Bintang mengambil kesempatan itu dengan menatap mata Vesta lama sambil menjabat tangannya dan tersenyum maut. "Bintang."
Reaksi Vesta sungguh di luar dugaan. Dia hanya tersenyum sekilas lalu melepas tangannya dan berkenalan dengan yang lain. Tanpa salting, tanpa wajah memerah (sulit ditebak juga karena pipi Vesta memang merona pink). Dan cuek. Tidak ada kesan minder, apalagi euforia berlebihan, bisa berkenalan dengan cowok-cowok yang sudah mematahkan hati banyak cewek itu.
Kei ujung-ujungnya penasaran juga. Ruffan mengangkat alis. Eza mulai terusik. Dan Bintang? Jangan tanya. Dia blingsatan setengah mati ingin menaklukkan cewek itu.
Sejam berlalu, cowok-cowok itu mulai menyerah. Mereka menghentikan aksi tebar pesona mereka dan mulai berkonsentrasi mengikuti diskusi Denny dan Vesta tentang lirik lagu.
Mereka tertohok saat sebelum pulang Vesta berkata, "Kalian lebih menyenangkan begini daripada bersikap kayak tadi. Bintang, sikap SKSD mu bener-bener bikin aku pengen ketawa. Ruffan, jangan sok gentle gitu, sekarang zaman cewek independen, aku nggak perlu dianter pulang sama kamu. Kei, kamu nggak perlu sok-sok natap mataku dalem-dalem gitu, aku nggak kepengaruh. Dan Eza, buang jauh-jauh sikap sok cool mu itu, aku nggak bakal penasaran."
Mereka speechless, hanya Denny yang mati-matian menahan tawa.
"See ya The Heartbreakers. Ngomong-ngomong, nama itu lebih elegan daripada The Gank of Playboys lho. Lebih classy kesannya. Mungkin bisa kalian pertimbangkan untuk mengganti nama band kalian," tukasnya sambil tersenyum manis.
Setelah mobil Vesta berlalu, Denny melepaskan tawanya yang sedari tadi tertahan. "Gila, ekspresi lo semua lucu banget! Hahahaha, ngakak gue. Rasain lo. Gue bilangin ya, sepupu gue tuh bukan cewek sembarangan. Huahahaha."
Muka Eza memerah sampai telinga karena malu, begitupun yang lain.
"Heh, jadi lo udah ngasi tau dia sebelumnya ya? Soal kita?"
"Nggak juga, gue cuma sempet ngasi tau nama band kita ke dia. Dia cuma ketawa pelan gitu, dan bilang suatu saat pengen ketemu personilnya."
"Huah, tapi asik kok anaknya. Lo bener. Kekhawatiran gue berlebihan.." Ucap Ruffan menetralkan suasana.
Hanya Bintang yang masih diam. Sepertinya berpikir keras, bagaimana cara menaklukkan Vesta.
Beberapa hari kemudian Vesta menelepon, dia sudah menyelesaikan 3 lirik, yang pertama temanya tentang patah hati, yang langsung ditolak dengan tegas karena mereka mengklaim The HBs tidak pernah patah hati. Yang kedua tentang cowok yang jatuh cinta sama cewek yang digambarkan semanis peri, lirik itu dalam dan bagus, tetapi kalimat per baitnya cukup panjang dan agak susah mengaransemennya. Selain itu agak nggak cocok kayaknya kalau mereka harus membawakan lagu pemujaan buat cewek gitu. Tau sendirilah, mereka nggak pernah sayang sama cewek sungguh-sungguh. Terakhir, tentang seseorang yang harus berakting bahwa kehidupannya sempurna., inilah yang dipilih dan diberi judul You Should Give Me an Oscar. Nama The Gank of Playboys pun berubah seperti usulan Vesta, menjadi The Heartbreakers.
Kei membayangkan raut wajah Vesta saat tertawa, mata Vesta yang seakan berbicara, dan gaya khasnya yang cuek sekaligus perhatian di saat yang bersamaan, apa adanya, tidak dibuat-buat, dan seringkali membuat The HBs senewen karena Vesta sama sekali tidak tampak tertarik sedikitpun pada mereka.
Kei ingat kalimat Vesta saat mereka bertemu lagi di rumah Denny, "Aku paling suka puisi-puisi Kahlil Gibran. Terutama yang judulnya Cinta. Temenku yang ngetag aku di note FBnya dan aku langsung suka." Kei ingat juga, entah bagaimana ucapan itu begitu mempengaruhi Kei, hingga malamnya dia membuka note FB salah seorang teman Vesta hanya untuk membaca puisi itu. Lalu tertegun membacanya..

Ketika kita menemukan seseorang yang keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan serupa yang dinamakan cinta.

Ada hal-hal yang tidak ingin kita lepaskan,
seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan,
tapi melepaskan bukan akhir dari dunia,
melainkan suatu awal kehidupan baru,
kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti,
mereka yang telah dan tengah mencari dan mereka yang telah mencoba.
karena merekalah yang bisa menghargai betapa pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan mereka.

Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya, adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia.
Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum dan berkata, ”Aku turut berbahagia untukmu.”

Apabila cinta tidak bertemu, bebaskan dirimu,
biarkan hatimu kembali ke alam bebas lagi.
kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati kamu tidak perlu mati bersama cinta itu.

Kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri dan menyadari bahwa penyesalan tidak seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya sebagai penghargaan abadi atas pilihan-pilihan hidup yang telah kau buat.
Mencintai juga bukanlah bagaimana kamu melupakan dia bila ia berbuat kesalahan,
melainkan bagaimana kamu memaafkan.
bukanlah bagaimana kamu mendengarkan,
melainkan bagaimana kamu mengerti.
bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa yang kamu rasa, bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan bagaimana kamu bertahan.

Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita melepaskannya.

Kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta keadamu, karena takut kau berpaling dan memberi jarak, dan bila suatu saat dia pergi, kau akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari

Begitu indahkah arti cinta? Kei tidak mengerti, ia sendiri belum pernah jatuh cinta. Pertama kali ia mengenal pacaran adalah saat ia menjadi ketua suatu kegiatan di SMPnya dan wakilnya adalah cewek yang cantik dan populer. Setelah beberapa lama mereka akrab, dan gosip tentang mereka menyebar. Entah bagaimana mulanya, akhirnya Kei dan Putri, nama anak itu, jadian. Kei sendiri tidak begitu paham arti pacaran saat itu, ia hanya menikmati perasaan bangga saat temannya berkata, "Gokil, man! Cewek lo cantik banget!" Atau saat Putri berulang tahun dan Kei mendapat potongan kue pertamanya lalu seluruh anak bertepuk tangan. Namun hubungan itu hanya berjalan tepat sebulan, sebelum akhirnya berakhir. Alasannya sederhana saja, Kei melupakan tanggal mereka jadian. Putri marah luar biasa dan langsung minta putus.
Setelah itu, anak terpintar di kelas bahasa inggrisnya menembaknya. Kei menerimanya hanya karena dia lumayan tertarik pada cewek itu. Bukan suka, hanya tertarik. Hubungan mereka berlangsung 3 bulan, dan berakhir karena cewek itu harus pindah ke Amsterdam, bersama orang tuanya.
Kei akhirnya mulai paham apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana sikap dia seharusnya saat pacaran.
Lalu adiknya, Karin, minta tolong padanya.
"Temen sekelasku itu nyebelin banget kak, centil, sombong, sok, tukang tindas, tukang pamer. Mana dia sirik banget sama aku. Kemaren itu puncaknya, masa scrapbook ku yang aku buat berbulan-bulan dirusak sama dia? digunting-gunting sama dia sampe nggak berbentuk... " Karin menjelaskan, matanya berkaca-kaca.
"Terus kakak bisa bantu apa?" Kei bertanya pelan. Ikutan kesal.
Karin mengulurkan sobekan kertas bertuliskan ID YM dan nomer handphone. Karin tersenyum penuh arti, Kei langsung paham.
Kei memulai karirnya menjadi womanizer kelas kakap. Perkenalan yang dirancang seakan-akan tidak sengaja dengan Chika, cewek rese itu, lalu prosesi penembakan yang romantis, nonton, dinner, yang diatur agar tidak ada seorangpun yang mengetahui mereka jalan berdua kecuali Kei, Chika, dan tentu saja Karin. Hubungan mereka berlanjut hingga Chika merengek ingin memperkenalkan Kei kepada teman-temannya di acara ulang tahunnya.
Surprise! Kei tidak datang. Seluruh teman-teman Chika mencibirnya yang sudah mengaku-ngaku punya pacar anak SMA yang ganteng luar biasa.
Surprise lagi! Besoknya Kei datang ke SMP Karin untuk menjemput Karin. Saat Chika menghampirinya dengan kemarahan yang amat sangat, diikuti dayang-dayangnya yang setia tapi bloon. Kei hanya menoleh sambil berlagak pilon.
"Ada apa ya?"
"Apa? Kamu ini keterlaluan Kei! Kemarin kamu kemana?? Trus sekarang kamu bukannya minta maaf, atau apa. Ngasi selamet aja enggak! Hapemu juga kenapa mati??" Chika berteriak dengan amarah yang meledak-ledak.
"Sori, maksudmu apa? Emang kita saling kenal?" Kei masih tetap memasang tampang sok bingungnya. Aktingnya benar benar sempurna.
Chika ternganga. Tak sanggup bicara apa-apa lagi. Matanya nyalang memandang cowok di depannya. Sesosok tubuh mungil menyeruak kerumunan dan langsung.. Merangkul Kei!
Karin menatap Chika buas, "Apa urusan lo sama Kei? Jangan sok kenal ya! Dasar centil!"
            ”Apa? Dia cowokku!” Chika berteriak seperti orang gila.
            Kei (lagi-lagi) memasang tampang bingung lalu tertawa,”Heh, Non. Masa iya aku nggak kenal cewekku sendiri? Kamu ngaku-ngaku banget sih. Desperate ya? Habis putus atau gimana?”
Chika tambah mengamuk. Karin bahkan bisa melihat di kepalanya tumbuh dua tanduk (alah, hiperbola). ”Ckckck, Chika.. Chika.. mana mau Kei sama cewek mengerikan kayak lo!” Karin menikmati sekali momen kemenangannya. Kei hanya tersenyum sambil mengusap poni Karin lembut. Lalu menatap Chika lurus-lurus dan berkata datar, "Aku nggak kenal kamu. Apalagi pernah berurusan sama kamu. Mungkin kamu berhalusinasi atau apa gitu ya, aku nggak tau, yang jelas, aku liat wajahmu aja baru sekali ini. Maaf, kita permisi dulu ya." Kei dengan gentle membukakan pintu untuk Karin, lalu meluncur pergi dengan mobilnya.
Chika terpaku menahan marah dan malu. Memang sempat ada beberapa kericuhan antara Karin-Chika sesudah itu, tapi yang jelas Chika sudah mendapat pelajaran.
Sejak itu Kei memulai petualangannya, dia merasa pacaran adalah hal sederhana dan merupakan simbiosis mutualisme. Dia melimpahkan perhatian luar biasa yang membuat para cewek melambung, dan dia juga mendapat keuntungan dengan menjadi ’pemilik’ cewek-cewek (yang semuanya nggak sembarangan) itu. Hanya untuk have fun. Begitu bosan, tinggal. Kei belum pernah serius suka, apalagi sayang, pada seseorang. Hanya sekedar tertarik pada fisik atau bakatnya. Kei tidak pernah merencanakan untuk menjadi seorang playboy. Semua berjalan begitu saja, dan tahu-tahu dia sudah tiga puluh satu kali pacaran.
Tetapi dengan Vesta, ini lain. Cewek itu bermagnet, Kei mengistilahkan. Matanya yang bercahaya, sikapnya yang jauh dari kata jaim, raut wajahnya yang seperti anak-anak.. Apa dia jatuh cinta? Kei menggelengkan kepalanya. Mengusap lehernya perlahan, lalu pergi. Berusaha tidak memikirkan soal itu.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...